AANavis merupakan seorang sastrawan yang begitu imajinatif dalam membuat cerita yang penuh dengan pesan dan moral. Tidak hanya cerpen Robohnya Surau Kami saja yang mengangkat tema religius tapi hampir sembilan cerpennya yang lain dan novelnya yang berjudul Kemarau juga mengangakat tema yang sama dengan cerpen ini yaitu religius.
Sinopsis Novel "Kemarau" Karya Navis-Kemarau merupakan roman karya Navis yang pertama, yang diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Jaya pada tahun petaui semakin merasa berputus asa atas musim kemarau panjang yang sedang menimpa negeri ini. Sawah dan ladang mereka sangat kering dan cuaca panas sangat menyengat tubuh. Keadaan itu membuat mereka tidak lagi mau menggarap sawah atau mengairi sawah mereka. Mereka hanya bermalas-malasan dan bermain kartu saja. Namun, ada seorang petani yang tidak ikut bermalas-malasan. Ia adalah Sutan Duano. Dalam keadaan kemarau panjang ini, ia tetap mengairi sawahnya dengan rnengangkat air dari danau yang ada di sekitar desa mereka sehingga padinya tetap tumbuh. Ia tidak menghiraukan panas matahari yang membakar tubuhnya. la berharap agar para petani di desanya mengikuti perbuatan yang ia lakukan. Ia juga berusaha memberikan ceramah kepada ibu-ibu yang ikut dalam pengajian di surau desa mereka. Namun, tak satu pun petani yang menghiraukan ceramahnya apalagi mengikuti langkah-langkah yang dilakukannya. Tampaknya, keputusasaan penduduk desa telah sampai pada puncaknya. Suatu hari ada seorang bocah kecil bernama Acin yang membantunya mengairi sawah sehingga keduanya saling bergantian mengambil air di danau dan mengairi sawah mereka. Penduduk desa yang melihat kerja sama antara keduanya bukannya mencontoh apa yang mereka lakukan, melainkan mempergunjingkan dan menyebar fitnah, bahwa sutan Duano mencoba mencari perhatian Gundam, ibu si bocah itu, yang memang seorang janda. Bahkan, seorang janda yang menaruh hati pada Sutan Duano pun kemudian mempercayai gunjingan itu. Gunjingan itu semakin memanaskan telinga Sutan Duano, tetapi ia tidak menanggapinya dan tetap bersikap tenang. Suatu hari ia menerima telegram dari Masri, anaknya yang sudah dua puluh tahun disia-siakannya. Anak itu memintanya pergi ke Surabaya. Dalam hatinya, ia ingin bertemu dengan anak semata wayangnya itu, namun ia tidak mau rneninggalkan si bocah kecil yang masih memerlukan bimbingannya. Setelah mempertimbangkan masak-masak, ia pun memutuskan pergi ke Surabaya. Sementara itu, para penduduk desa merasa kehilangan atas kepergiannya. Apalagi setelah mereka membuktikan bahwa semua saran yang diberikan oleh Sutan Duano membuahkan hasil. Mereka menyesal telah salah sangka terhadapnya. Sementara itu, sesampainya Sutan Duano di Surabaya, hatinya menjadi hancur ketika ia bertemu dengan rnertua anaknya. Ternyata mertua anaknya adalah Iyah, mantan istrinya. Ia marah kepada Iyah karena telah menikahkan dua orang yang bersaudara. Karena marahnya itu, Sutan Duano mengancam akan memberitahukan kepada Masri dan Arni. Namun, Iyah berusaha menghalanginya dengan memukul kepala mantan suaminya itu dengan sepotong kayu. Kalau saja Arni tidak menghalanginya, kemungkinan besar Sutan Duano tidak akan selamat. Melihat mantan suaminya bersimbah darah, Iyah rnerasa menyesal kemudian ia memberitahukan kepada Arni bahwa Sutan Duano adalah mantan suaminya. Betapa terkejutnya Arni mendengarnya. Ia kemudian menceritakan hal itu kepada Masri, sehingga mereka sepakat berpisah. Tak lama kemudian, Iyah meninggal dunia, sedangkan Sutan Duano pulang ke kampung halamannya dan menikah dengan Gundam.
AnalisisNovel Kemarau Karya A.A. Navis Awan December 23, 2018 Pendekatan objektif merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. Kritik objektif mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair, audience, dan dunia yang mengelilinginya!Hasil foto saya sendiri pada saat berkunjung ke Museum. Sumber Foto milik sendiriJumlah Halaman 178 halamanPenerbit PT. Gramedia Widiasarana Idonesia, JakartaKemarau merupakan salah satu novel karya Navis yang menceritakan sebuah kampung yang mengalami musim kemarau panjang. Tanah dan sawah retak karena cuaca yang sangat kering dan panas. Para petani semakin berputus asa atas musim kemarau yang panjang. Untuk mengatasi hal itu mereka pergi ke dukun untuk mendatangkan hujan, namun hasilnya tidak ada. Dan setelah tidak ada hasil, barulah mereka ingat pada Tuhan. Setiap malam mereka pergi ke masjid untuk mengadakan ratib, mengadakan sembahyang meminta hujan. Tapi hujan tak turun juga. Keadaan itu membuat penduduk tidak mau lagi menggarap sawah mereka. Namun, ada seorang petani yaitu Sutan Duano yang tidak bermalas-malasan. Dalam keadaan kemarau panjang ini, ia mengambil air di sebuah danau agar bisa mengairi sawahnya sehingga padinya tetap tumbuh. la berharap agar para petani di desanya mengikuti perbuatan yang ia lakukan. Namun, bukannya mengikuti perbuatannya, penduduk malah menganggap Sutan Duano gila karena mengambil air danau pada musim suatu hari, datanglah anak kecil sekitar umur 12 tahun bernama Acin menghampiri Sutan Duano yang sedang duduk. Dia bertanya mengapa Sutan Duano mengangkut air dari danau dan bercerita tentang orang yang tidak mau mengairi sawahnya pada saat musim kemarau. Setelah lama mereka berbincang Acin pun bekerja sama untuk mengambil air danau dan mengairi sawah mereka. Para penduduk yang melihat hal tersebut menganggap Sutan Duano sedang mencari perhatian kepada ibu Acin, yaitu Gundam janda enam tahun dengan dua orang anak. Mereka terus memperbincangkan Sutan Duano yang asal usulnya tidak jelas sambil bermain sore hari, ketika ia mengadakan pengajian di surau untuk kaum perempuan, Sutan Duano merasa sudah tiba saatnya untuk memengaruhi kaum perempuan untuk bergotong royong mengangkut air untuk membedakan mana sawah yang disiram dengan yang tidak disiram. Lalu ia berkata "meskipun manusia itu ada yang mengingkari Tuhan, kafir, munafik, tetapi kalau mereka giat berusaha, berani menantang kesulitan, mereka akan dapat lebih banyak dari orang yang malas, meski orang malas itu rajin sembahyang". Kemudian bercerita tentang susahnya orang zaman dahulu mempertahankan hidup dan kesulitan di negeri orang. Namun tetap saja hal itu tidak membuat penduduk setuju atas ajakan untuk mengairi Duano hampir putus asa akan hal tersebut. Apalagi para perempuan yang datang mengaji bukan untuk mendengarkan ceramahnya, melainkan mereka suka kepada Sutan suatu hari ia menerima surat dari anaknya yang berada si Surabaya. Anaknya meminta Sutan Duano untuk ke Surabaya. Dan berita itu pun meluas ke seluruh penduduk Mereka takjub bahwa Sutan Duano sudah memiliki anak yang kaya, bahkan mempunyai cucu. Padahal selama ini tak seorang pun tahu riwayat hidup dan asal-usulnya. Ini sebab Kutar membaca surat Sutan Duano merenungi masa lalunya, istrinya meninggal karena melahirkan anak keduanya, setelah itu dia kawin lagi tetapi istrinya tidak sebaik ibu Masri yang telah meninggal dan akhirnya cerai. Untuk mengisi kesepiannya, Sutan Duano bermain dengan perempuan malam dan Masri melihat hal tersebut dan marah kepada perempuan malam itu dan memukulnya sampai ia masuk penjara selama tiga bulan. Setelah ia keluar, dikampung itulah dia tobat. Sesampainya Sutan Duano di Surabaya, hatinya hancur ketika ia bertemu dengan mertua anaknya. Ternyata mertua anaknya adalah Iyah, mantan istrinya. Ia merasa kedatangannya adalah sesuatu yang sudah ditakdirkan, ia ingin meminta maaf atas perlakuannya di masa lalu. Dan akan memberitahu kepada anaknya tentang hubungannya dengan Iyah. Namun, Iyah sangat marah kepadanya dan mengusirnya, tetapi Sutan Duano tidak menyerah dan Iyah memukul kepala mantan suaminya itu dengan sepotong kayu. Kemudian Masri datang dan melihat Suan Duano bersimbah darah, Iyah merasa menyesal kemudian ia memberitahukan kepada Arni dan Masri bahwa Sutan Duano adalah mantan suaminya. Betapa terkejutnya Arni mendengarnya. Tak lama kemudian, Iyah meninggal dunia, sedangkan Sutan Duano pulang ke kampung halamannya dan menikah dengan Gundam, yaitu ibu dari dari novel ini terdapat banyak pesan moral dalam setiap ceritanya. Salah satunya, sifat dari tokoh Sutan Duano digambarkan dengan jelas, tokoh tersebut menyadarkan kita tentang begitu banyak hal yang seharusnya kita lakukan dan meninggalkan hal-hal yang tidak berguna. Di novel ini juga mengajarkan kita untuk bekerja keras, kita tidak boleh pasrah hidup kita kepada nasib, dukun, dan Tuhan. Lalu di novel ini juga mengajarkan kita untuk selalu mengingat dari novel ini hanya pada penggunaan bahasa yang sulit dipahami oleh masyarakat umum dan terdapat istilah asing yang saya tidak pahami.
Yukcek cerpen kemarau karya aa navis Awan December 23 2018. Novel Kemarau karya AA Navis bertujuan untuk memberikan nilai-nilai pemikiran
The Drought Novel by Navis is the object of this research. Tells the life of a middle-aged man who lives in a village. His desire to change the way people around him think about work and make sense of life is hampered by their nature and personal past. Explicitly this novel is like discussing the life of the main character. The reality behind it, culture, innuendo, and religious observance neatly packaged in it. Therefore from that novel that is able to load content in the form of reality and expression of the author, the researcher chooses Dynamic Structuralism as the study theory. Will be achieved in this article the approach used only from the perspective of the expressive approach. The method used is reading, recording, watching, recording data on film sources, and processing data. The results of this study resulted in the study of extrasic expressive Sasra works, criticism of the authors of the work on human behavior, the introduction of several Minangkabau cultures, and personal experiences of Navis Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SEMIOTIKA Volume 22 Nomor 1, Januari 2021 Halaman 24—31 URL E-ISSN 2599-3429 P-ISSN 1411-5948 24 KAJIAN EKSPRESIF TERHADAP NOVEL KEMARAU KARYA NAVIS NAVIS’ KEMARAU IN EXPRESSIVE APPROACH Galang Garda Sanubari1, Titik Maslikatin2*, dan Heru Saputra3 1Alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember 2,3Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember *Correponding author titikunej Informasi Artikel Dikirim 11/8/2020; Direvisi 25/10/2020; Diterima 10/12/2020 Abstract The object of this research is a novel entitles Kemarau by Navis. It tells about the life of a middle-aged man who lives in a village. The purpose of this research describes the reality and expressions of the author in his works. The method used is descriptive qualitative. The analysis results show that the author, portrayed at the main character, wants to change people's lives and how perceiving work is collided by their personalities and past experiences. This novel is only explicitly discussing the life of the main character. The story is talking about culture, satire and religious obedience. The results of this research show in the extrinsic expressive assessment of literary works, the author's critics about the human behaviour, introduction to several Minangkabau cultures, and Navis' personal experience Keywords Dynamic Structuralism, Expressive, Kemarau Abstrak Novel Kemarau karya Navis yang menjadi objek penelitian ini bercerita tentang kehidupan seorang laki-laki paruh baya yang tinggal di sebuah kampung. Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan realitas dan ekspresi pengarang dalam berkarya. Meode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil analisis menunjukkan pengarang melalui tokoh utama berkeinginannya untuk mengubah cara pandang orang-orang di sekitarnya tentang kerja dan memaknai kehidupan yang terbentur oleh sifat mereka dan masa lalu pribadinya. Secara eksplisit novel ini seperti membahas kehidupan tokoh utama saja. Kenyataannya di balik itu, budaya, sindiran, dan ketaatan beragama dikemas dengan rapi di dalamnya. Maka dari itu penelitian ini menghasilkan pengkajian karya sasra secara ekstrinsik ekspresif, kritik dari penulis karya terhadap prilaku manusia, pengenalan beberapa budaya Minangkabau, dan pengalaman pribadi Navis Kata kunci Ekspresif, Kemarau, Strukturalisme Dinamik PENDAHULUAN Novel Kemarau karya Navis memiliki ciri khas kuat akan makna dan sindiran terhadap fenomena sosial. Latar musim kemarau berkepanjangan, mengungkapkan usaha tokoh bernama Sutan Duano untuk meyakinkan penduduk kampung agar mau bekerja keras melawan Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 25 kekeringan. Proses penceritaan novel ini mengingatkan kita akan karya lain dari Navis Robohnya Surau Kami. Tidak jauh berbeda, maka kedua karya ini memiliki sindiran yang sama dan menjadikan pola kebiasaan masyarakat sebagai objek dari pengarang. Karya Navis ini, menggambarkan bagaimana penduduk kampung yang umumnya petani menghadapi musim kering yang telah merusak sawah mereka. Warga terlihat putus asa dengan kemarau yang tidak kunjung selesai, sebagai wujud usaha mereka menempuh berbagai cara sesuai dengan apa yang diyakini. Warga kampung melakukan sholat untuk meminta diturunkan hujan, bahkan meminta pertolongan dari orang pintar dukun juga telah dilakukan. Tidak ada hasil yang didapatkan. Selain usaha menurunkan hujan, tidak ada lagi usaha yang coba dilakukan warga untuk mengolah lahan persawahan. Hampir semua dari warga hanya pasrah dan memilih untuk tetap tinggal di rumah. Ketika orang-orang kampung mulai pasrah dengan keadaan, kemudian dimunculkan tokoh Sutan Duano sebagai wujud nyata kerja keras yang ingin digambarkan oleh Navis. Berdasarkan penjelasan mengenai latar belakang pemilihan objek karya sastra, judul karya sastra, biografi pengarang karya, dan gambaran singkat mengenai novel, maka dipilihlah teori Strukturalisme Dinamik sebagai alat pengkajian. Strukturalisme dinamik dipilih sebagai teori pengkajian karena pengungkapan nilai estetik sastra pada novel tersebut dalam pencarian ketegangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik cukup menarik untuk dikaji. Navis yang memang dikenal memiliki gaya bercerita yang meletup-letup dan kerap implisit dalam menyampaikan gagasannya disadari betul oleh penulis bahwa diperlukan suatu kajian yang memerlukan interpretasi khusus dari segi intrinsik maupun ekstrinsik. Keistimewaan novel ini ialah penyampaian sindiran yang dilakukan secara halus, cerita yang epik, dan mengandung makna-makna tersirat. Untuk mengkaji tegangan karya sastra dari segi intrinsik maupun ekstrinsik yang telah disebutkan di atas, penulis menggunakan teori lain sebagai alat bantu. Yakni teori “Universe Abrams”. Teori ini digunakan dengan 4 pendekatan karya sastra, yaitu objektif karya sastra, ekspresif pengarang, mimetik realita, pragmatik pembaca Teeuw, 1998189-190. Khusus pada artikel ini, peneliti tidak menggunakan keempat pendekatan milik Abrams. Pengkajiannya fokus pada pendekatan ekspresif yang mengungkapkan sudut pandang pengarang karya sastra. METODE Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk memahami karya ilmiah. Penggunaan metode yang tepat akan berpengaruh pada keberhasilan penulisan sebuah karya ilmiah. Semi 19939 membagi metode penelitian menjadi dua jenis, yaitu metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif merupakan cara kerja penelitian yang menggunakan angka atau hitungan matematis sebagai jaln untuk mengumpulkan data, sedangkan kualitatif mengutamakan cara kerja berdasarkan analisis secara mendalam terhadap objek kajian secara empiris. Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan ekspresif. Metode kualitatif yang lebih spesifik digunakan yaitu deskriptif kualitatif. SEMIOTIKA, 221, 202124—31 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Novel Kemarau membangun suasana dimana kita dibawa untuk membayangkan kehidupan warga desa yang kolot dengan lagak kebahasaan Melayu mereka. Suasana Melayu khas daerah Sumatra Barat terbangun kuat dalam cerita. Penggunaan sebutan Sutan di depan nama lelaki menjadi contoh suasana yang dihadirkan Navis. Penggunaan kata Amakuntuk menggantikan “ibu” menjadi penguat lain latar sosial dalam novel. Satu hal lagi dan itu yang paling kuat adalah penyusunan struktur kalimat yang terasa berbeda dari Bahasa Indonesia secara aturan. Misalnya dialog berikut “Habis. Apa untungnya mengambil orang kampung lain jadi orang semenda kita, kalau tidak kuat tulangnya melunyah sawah. Entah rang mana dia, mana kita tahu. Entah di mana sakonya asal-usul, entah di mana pandan pekuburannya.” Kemarau41 Dialog di atas merupakan pembicaraan dari masyarakat desa yang penasaran akan siap itu Sutan Duano. Dia tidak diketahui asal usulnya. Tiba-tiba saja dia datang dan menempati surau. Padahal untuk lelaki yang berusia 40 tahun, tidak wajar jika tinggal di sebuah surau. Hanya orang tua dan sudah merasa sebentar lagi akan meninggal saja yang seharusnya mendiami surau. Tinggalnya dia di surau tidak lain juga untuk melakukan ibadah lebih banyak, karena mengingaat umurnya yang kian menua. Lain cerita dengan Sutan Duano. Laki-laki yang masih segar tanpa asal-usul yang jelas tiba-tiba datang untuk tinggal di dalam surau. Sebagai wujud untuk menunjukkan eksistensi bahasa Minangkabau, Navis menggunakan kata sako yang dalam novel Kemarau hal, 41 memiliki arti sebagai asal usul. Contoh lain yang melibatkan kebudayaan Minangkabau sebagai latar belakang penulis adalah sebagai berikut “Ah. Nantilah ngomong. Bagaimana kau?” sela orang yang di kanannya. “Aku pas.” “Bilang dari tadi. Omong ya omong. Main terus juga. Kan main bukan dengan mulut. “Apa kau suka dengan si Gudam maka marah saja padaku, ha?” “Kalau aku tidak satu suku dengannya, sudah kawin bujang dengn gadis aku dengannya,” kata orang itu seray mengempaskan batu dominonya. Kemarau 36 Ada tiga jenis perkawinan yang pantang dilakukan oleh orang Minangkabau. Salah satunya adalah perkawinan sesama suku. Mereka menilai bahwa perkawinan yang dilakukan oleh orang satu suku akan merusak sistem adat. Diketahui bahwa orang-orang Minangkabau menganut sistem matrilineal. Selain menunjukkan eksistensi bahasa dan budaya Minangkabau, Navis tidak lupa untuk menunjukkan peringatan kepada pembaca tentang hal yang menurutnya salah. Ekspresi penulis diwujudkan dengan munculnya Sutan Duano. Pola pikir tokoh tersebut menentang pemikiran- pemikiran sederhana warga desa. Lewat Sutan Duano dia berdakwah, menyampaikan nilai kehidupan, dan beragama yang menurutnya benar. Berikut salah satu pandangan orang-orang yang menurutnya tidak benar n gelar adat untuk laki-laki Minangkabau Rusmali dkk, 1985 n amak; amai; mande; biai; ampu; induak - jari ampu jari Adnan, 2004 Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 27 “Tapi, orang tambah tercengan lagi karena sisa umurnya dihabiskannya dengan bekerja keras. Padahal, setiap orang yang mau mendiami sebuah surau adalah untuk menghabiskan umur tuanya sambil berbuat ibadah melulu, sembhayang, zikir, dan membaca Qur‟an sampai mata menjadi rabun. Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini.” Kemarau3-4 Demikianlah menurut Navis mengenai pola pikir masyarakat, tentang orang yang sudah semakin tua dan tinggal di sebuah surau. Pendapat semacam itu tidak disukai olehnya. Dia menunjukkan dalam hampir seluruh penceritaan di dalam novel, bahwa tidak benar pola pikir demikian. Sebagai seorang pengkritik yang baik, Navis tidak hanya menyampaikan sesuatu yang menurutnya jelek saja. Dia juga menyampaikan solusi, sekaligus contoh hasil dari solusi tersebut. “Di waktu itulah Sutan Duano memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah terlantar diminta izin yang punya untuk dikerjakannya. ... Malam-malam ketika orang lagi asyik omong-omong di lepau atau mengikuti kusus, ia membenamkan dirinya mengikisi lumut kulit manis sampai tengah malam. Dan di samping itu ia telah mulai sembhayang dan mempelajari agama melalui buku-buku.” Kemarau6 “Tapi, Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. Ia sudah punya sepasang bendi, punya seekor sapi untuk membajak. Karenanya ia telah menjadi orang yang berarti, disegani oleh semua orang tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang kesulitan.” Kemarau7 Menurutnya, kejayaan suatu nagari tidak tergantung pada luas maupun seberapa suburnya wilayah di sana. Melainkan aktivitas dari warganya masing-masing Navis, 1984120. Dia tidak juga menganjurkan manusia untuk pasrah dengan keadaan. Kemarau panjang adalah salah satu ganjalan besar warga desa untuk mengolah sawah. Solusi selalu dapat ditemukan dalam permasalahan sesulit apapun. Sebagai seorang manusia beragama, Navis cukup mengerti perihal ini. Pemahamannya soal agama juga dia selipkan beberapa kali di dalam cerita Kemarau. Agama bagi Navis bukanlah perantara atau alat untuk memperoleh sesuatu. Sering manusia menginginkan sesuatu, akan tetapi menggunakan agama sebagai landasannya. Ajaran yang digunakan untuk mengatur tata keimanan tidak patut digunakan sebagai alat. Apalagi hanya sebuah pemuas nafsu individual. Setidaknya itulah yang ingin dikatakan oleh Navis lewat kutipan berikut. “Kenapa tidak ada orang yang datang mengaji tadi?” tanya Sutan Duano kemarin sore pada seorang perempuan yang dijumpainya di jalan. “Kami malu,” jawab perempuan itu dengan sorotan mata yang minta maaf. “Malu? Pada siapa?” “Ya. Pada Guru.” “Kenapa?” “Kami perempuan di kampung ini suka pada Guru. Kami akan mengikuti segala yang Guru suruhkan. Tapi untuk mengangkut air danau untuk semua sawah itu, kami tidak SEMIOTIKA, 221, 202124—31 28 sepakat. Lain halnya kalau untuk sawah Guru seorang. Untuk menyiram sawah datuk Malintang yang pelit itu juga, kami tak mau.” Kemarau 60 ... “Sudah selama itu memberi pelajaran agama, hasilnya ternyata nihil. Perempuan di kampung itu hanya jadi pengikutnya, bukan pengikut ajarannya. Ia tidak suka pada pemujaan orang-orang, ia tidak suka sistem bapakisme yang sudah usang itu. Biarlah mereka tak lagi datang ke suraunya, katanya dalam hati. Kalau kedatangannya bukan karena hendak mempelajari agama.” Kemarau61 Navis menyindir keras agama yang hanya diperalat demi keinginan pribadi. Sindiran untuk perempuan-perempuan di kampung yang suka mengaji karena tertarik pada si Guru Sutan Duano. Mayoritas orang suku Minangkabau merupakan pemeluk agama Islam. Mereka juga dikenal memiliki kesetiaan akan agama dan budayanya. Kesetiaan mereka pada adat diungkapkan oleh mamangan hiduik dikanduang adaik, mati dikanduang tanah hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Maknanya adalah bahwa orang-orang Minangkabau sudah mengetahui di mana tempatnya dan tidak akan ada tempat lain Navis, 198486. Satu hal lagi yang tidak diinginkan oleh Navis lewat Sutan Duano. Membicarakan soal kebiasaan. Navis juga tidak luput mengungkapkan pendapatnya. Tampaknya, dia kurang setuju tentang beberapa kebiasaan . Berikut kutipan dialog yang menunjukkan sikapnya tentang kebiasaan “merantau”. “Sudah yakin benar Sutan akan berhasil lebih baik jika di kota?” tanya Sutan Duano setelah lama berpikir-pikir. “Keadaan nasib siapa yang tahu. “Jangan bermain judi dengan nasib, Sutan.” “Aku tidak bermain judi. Kalau di sini sangat sempit hidupku, mungkin di tempat lain Tuhan membukakan pintu rezeki selapang-lapangnya buatku.” “Di mana Sutan thau rezeki lebih lapang di kota daripada di sini?” ... “Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau ia giat.” Kemarau8-9 Lewat pernyataan Sutan Duano, Navis mencoba menyampaikan pendapat bahwa pergi ke kota bukan jaminan untuk menjadi sukses. Pergi ke tempat lain untuk mencari penghidupan, atau biasa kita sebut dengan merantau adalah kebiasaan dari masyarakat Minangkabau. Perbedaan pendapat Navis yang tidak sesuai dengan budaya Minangkabau tersebut bukan berarti dia tidak setuju sepenuhnya atas kebiasaan tersebut. Dia mencoba untuk menjelaskan pertimbangan tentang apa saja yang bisa terjadi. Merantau bukan satu-satunya cara untuk sukses. Bekerja di kampung halaman pun juga bisa sukses. Asalkan orang tersebut mau untuk bekerja keras. Sutan Duano adalah bentuk solusi dari Navis. Bukan hanya nasib yang tidak menentu keadaannya. Harmonisasi keluarga juga dapat terancam. Bagi seorang yang baru saja berangkat merantau, dapat dipastikan bahwa dia akan meninggalkan anak dan istrinya di kampung. Misalnya saja yang terjadi di dalam cuplikan cerita novel Kemarau berikut Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 29 “Kami sama-sama bertani dulunya. Tapi kemudian ia merantau ke kota. Enam bulan ia baru di rantau, ia telah sanggup membelikan anak istrinya pakaian yang layak ketika ia pulang. Tapi aku, apa yang telah dapat kuberikan buat istriku, selain anak bertambah setiap tahun?” “Aku dengar si Mariman itu, selama ini di rantau tak pernah mengirimkan nafkah buat keluarganya.” Sutan Caniago terdiam. “Itu kan tak bisa dibanggakan. Sutan di sini selalu menghiraukan keluarga Sutan. Meski kain bajunya tak terbelikan, tapi nafkahnya Sutan urus. Itu kan sama saja apa yang diberikan si Mariman kepada istrinya.” Kemarau11 Seperti itulah ketakutan yang ada di pikiran Navis. Layaknya kebanyakan hal pada umumnya, merantau juga dapat menghadirkan efek baik dan buruk. Tinggal menunggu saja, efek mana yang lebih dominan. Jika orang pergi merantau kemudian dia sukses, itu merupakan hal yang bagus. Apabila yang terjadi justru sebaliknya, maka tidak beruntung orang tersebut. Memang hasilnya tidak dapat ditebak. Justru karena itulah Navis mengingatkan mereka tentang kerugian yang dapat mereka hadapi. Permasalahan ini dapat disikapi dari sudut pandang lain. Mempertaruhkan nasib terkadang juga membutuhkan perhitungan. Melihat sikap dan gaya pemikiran warga desa, tampak mengkhawatirkan jika mereka harus beradu pikiran dengan orang kota. Belum lagi jika nanati mereka harus menerima kenyataan untuk kembali ke kampung halaman. Bukan hanya budaya merantau yang dikritik oleh Navis. Dia juga mengkritik kegiatan lain yang menurutnya mubazir. Kegiatan tersebut adalah kenduri turun mandi. “Aku tidak suka uang setoran ditunggak. Itu sudah perjanjian kita. Dan aku sudah bilang berkali-kali.” “Itulah, Guru. Aku perlukan senja ini datang pada Guru untuk minta maaf. Uang setoran itu diambil istriku kemarin.” “Aku tidak suka uangku digunakan untuk kenduri yang mubazir itu. Agama kita tak ada menyuruhkan kenduri turun mandi itu. Malah haram hukumnya karena keduri itu Uwo sampai menipu uang orang lain.” Kemarau50 Navis berpendapat jika kegiatan tersebut tidak diajarkan oleh agama Islam. Selain tidak diajarkan, kegiatan tersebut dinilai mubazir. Apalagi dalam kasus di atas, supir bendi yang bekerjasama dengan Sutan Duano telah membohonginya. Kenduri yang mubazir dan dibiayai dengan uang hasil berbohong, maka haram hukumnya. Pendapat-pendapat tersebut perlu dibahas lebih rinci. Agama Islam yang tidak mengajarkan kenduri dan menurut Navis adalah kegiatan mubazir. Kenduri menurut KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah, dan sebagainya. Kenduri pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme- dinamisme. Sebenarnya tujuan diadakannya hanya untuk mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan Herusatoto, 200125. Sebagai bentuk akulturasi antara kepercayaan masyarakat lokal dengan ajaran agama Islam, umumnya kegiatan ini akan banyak ditemui di berbagai suku yang mayoritas beragama Islam. SEMIOTIKA, 221, 202124—31 30 SIMPULAN Berdasarkan data dan analisis di atas, pendekatan ekspresif pada novel Kemarau lebih mengarah kepada ekspresi pengarang untuk mengenalkan budaya daerahnya serta kritik sosial dan praktik keagamaan. Spekulasi seperti ini didasarkan pada isi konten di dalam cerita. Tidak terdapat satu pun bagian di dalam cerita yang mengungkapkan secara implisit maupun eksplisit soal pribadi penulis. Navis dengan tegas mengatakan bahwa untuk sukses tidak perlu merantau. Sukses bisa diperoleh di desa sekalipun, asalkan orang itu mau bekerja keras. Pendapat itu tidak hanya rekaan dari peneliti. Navis pernah mengatakan hal yang serupa ketika dia diwawancarai Kompas pada tanggal 12 Februari 1992. Dia juga menyampaikan pendapatnya soal beberapa poin kehidupan bergama. Lewat Sutan Duano, dia mengatakan jika membaca Al-Quran tanpa mengerti maknanya itu kurang pas. Kitab suci umat muslim ini tentu memiliki makna sendiri di balik kata-katanya. Akan tetapi, jika orang yang membacanya tidak mengerti maksudnya maka apa yang dapat dipraktekkan darinya. Pendapat ini diperkuat dengan contoh kasus di dalam novel. Ada seorang Buyayang mengajarkan tentang pratik zakat. Melihat dari cerita, terdapat kesalahan yang dilakukan oleh Buya tersebut. Seharusnya orang-orang tidak mampu yang harus menerima zakat. Tetapi justru Buya itu sendirilah yang mendapat bergoni-goni beras zakat. DAFTAR PUSTAKA Herusatoto, B. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta Hanindita Graha. MacIntyre, A. 1995. 'Is Patriotism a Virtue?'. Dalam Ronald Beiner ed.. Theorizing Citizenship. hlm. 208-229. Albany State University of New York Press. Nanda, dan Shofiyah, H. 2019. “Perlawanan Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Tinjauan Feminisme Sosialis.” SENASBASA Seminar Nasional Bahasa dan Sastra, 3 8. Navis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta PT Grafiti Pers. Navis, 2018. Kemarau. Jakarta PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Rusmali. 1985. Kamus Minangkabau-Indonesia. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Semi, 1993. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung Angkasa Raya. Som, & Hasanah, F. 2007. “Representasi Femme Fatale dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan.” Poetika Jurnal Ilmu Sastra, 12. Tarigan, 2015. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung Angkasa. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka Jaya. Kata sapaan islami kepada orang tua laki-laki; bapak atau KBBI Buya n - gelar ulama di ranah Minang; kiai adalah sebutan untuk seorang Kiai di Minang. Gelar ini biasanya diberikan kepada orang yang alim dalam ilmu agama. Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 31 Widia diakses pada 1 Desember 2019, pukul ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Ferli HasanahABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk memaparkan karakteristik-karakteristik femme Fatale yang terdapat dalam novel Cantik Itu Luka. Melalui tokoh-tokoh perempuan yang berbeda, ciri-ciri tersebut dapat ditemukan. Dengan menggunakan konsep femme fatale dari Yvonne Tasker dan Edwards, lima tokoh perempuan, yaitu Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Si Cantik dapat dikategorikan sebagai femme fatale. Citra ini diperkuat juga dengan membandingkan ciri-ciri tersebut pada citra tokoh perempuan yang berbudi luhur. Simpulan akhir mengungkapkan bahwa pada diri tokoh-tokoh perempuan tersebut terdapat ambiguitas antara protagonis dan antagonis, femme fatale dan perempuan berbudi luhur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada citra baru perempuan yang dibangun oleh dekonstruksi seksualitas pada novel kunci femme fatale, perempuan, seksualitasABSTRACTThis study aims to describe the characteristics of femme Fatale contained in the novel Cantik Itu Luka. Through different female characters, these characteristics can be found. Using the femme fatale concept of Yvonne Tasker and Edwards, five female characters, Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, and Si Cantik, can be categorized as femme fatale. This image is also strengthened by comparing such characteristics in the image of a virtuous woman. The final conclusion reveals that in the female characters there is and ambiguity between the protagonist and the antagonist, the femme fatale and the virtuous woman. Thus it can be said that there is a new image of women built by the deconstruction of sexuality in this novelKeywods femme fatale, woman, seksualitySimbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta Hanindita GrahaB HerusatotoHerusatoto, B. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta Hanindita Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Tinjauan Feminisme SosialisD I NandaH ShofiyahNanda, dan Shofiyah, H. 2019. "Perlawanan Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Tinjauan Feminisme Sosialis." SENASBASA Seminar Nasional Bahasa dan Sastra, 3 8.Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta PT Grafiti PersA A NavisNavis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta PT Grafiti Minangkabau-Indonesia. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan KebudayaanRusmaliRusmali. 1985. Kamus Minangkabau-Indonesia. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Pengajaran Bahasa dan Sastra IndonesiaA M SemiSemi, 1993. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung Angkasa dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka JayaA TeeuwTeeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka Jaya. Widia diakses pada 1 Desember 2019, pukul
Karya A.A. Navis. Ringkasan Umum: Musim kemarau yang panjang telah membuat semua penduduk desa putus asa dan akhirnya menjadi bermalas-malasan untuk bertani. Tapi ada seorang bernama Sutan Duano, dia terus mengairi sawah dengan mengangkat air dari danau walaupun panas terik menyengat tubuhnya. Tapi penduduk desa tidak mengikuti tapi malah
Open Preview See a Problem? We’d love your help. Let us know what’s wrong with this preview of Kemarau by Navis. Thanks for telling us about the kebobrokan. To see what your friends thought of this book, please sign up. Be the first to ask a question about Kemarau 206 ratings 40 reviews Start your review of Kemarau The book is classic and interesting. Many things to comprehend in society are well written in this book. The characters are strong, the conflicts are very close to the reality, and the climax is unpredictable and I really can feel the raising in emotion until it reaches the would prefer to let the story stopped when the family meets on the bloody floor rather than give some closing story in a very short epilog like it is written in the book. I felt like, “meh”.. the epilog screws my The book is classic and interesting. Many things to comprehend in society are well written in this book. The characters are strong, the conflicts are very close to the reality, and the climax is unpredictable and I really can feel the raising in emotion until it reaches the would prefer to let the story stopped when the family meets on the bloody floor rather than give some closing story in a very short epilog like it is written in the book. I felt like, “meh”.. the epilog screws my positive feeling to this book. …more Ali Akbar Navis was a journalist and potential writer. He was a full time writer for Sripo and writes so many stories. His famous books was “Robohnya Surau Kami” which became a monumental work for Indonesian literature. His last work is “Simarandang” a social-culture journal which been published on April 2003. Navis passed away at age 79. Ali Akbar Navis was a journalist and potential writer. He was a full time writer for Sripo and writes so many stories. His famous books was “Robohnya Surau Kami” which became a monumental work for Indonesian literature. His last work is “Simarandang” a social-culture journal which been published on April 2003. Navis passed away at age 79. …more Need another excuse to treat yourself to a new book this week? We’ve got you covered with the buzziest new releases of the day. To create our… Welcome back. Just a moment while we sign you in to your Goodreads account.
KARYADALAM ANTOLOGI INDONESIA: 1968 : Angkatan 66 oleh H.B. Jassin, Penerbit GunungAgung, Jakarta. 1977 : Langit Biru Laut Biru oleh Ayip Rosidi, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta. 1979 : Cerita Pendek Indonesia oleh Satyagraha Hoerip, Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Jakarta.
Pendekatan objektif merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. Kritik objektif mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair, audience, dan dunia yang mengelilinginya! Kritik itu menganalisis karya sastra sebagai sebuah objek yang mencukupi dirinya sendiri atau hal yang utuh, atau sebuah dunia dalam dirinya otonom, yang harus ditimbang atau dianalisis dengan kriteria “intrinsik” seperti kompleksitas, keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya. Dalam artian, pendekatan objektif ini sama halnya dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam suatu novel. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Berdasarkan uraian tersebut penulis bermaksud membahas tema yang terkandung dalam novel Kemarau karya AA. Navis. Tema adalah gagasan makna dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara ekplisit. Penafsiran terhadap tema harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Dimulai dari memahami tokoh utama yang biasanya “dibebani” tugas membawakan tema. Dalam sebuah cerita fiksi, lazimnya ada tokoh utama, konflik utama dan tema utama. Ada keterkaitan yang pada antara ketiganya. Pelaku atau pemilik konflik utama pasti adalah tokoh utama, dan disitulah umumnya letak tema utama. Melalui tokoh utamanya yaitu sutan Duano, penulis hendak memberikan gambaran mengenai sosok yang memiliki sifat dan karakter pekerja keras. Sutan Duano dikisahkan sebagai tokoh yang mempunyai niat dan semangat untuk mengubah kerangka berpikir warga kampung sekitar tempat tinggalnya. Ia berjuang untuk megubah watak masyarakat yang terbiasa menyerah pada takdir daripada bekerja keras `melawan nasib` guna memperbaiki kehidupannya. ”Hanya seorang petani saja berbuat lain. Ia seorang laki-laki sekitar 50 tahun. Badannya kekar dan tampang orangnya bersegi empat bagai kotak dengan kulitnya yang hitam oleh bakaran matahari. Pada ketika bendar-bendar tak mengalir lagi, sawah-sawah mulai kering matahari masih bersinar maraknya tanpa gangguan awan sebondong pun, diambilnya sekerat bambu. Lalu disandangnya di kedua ujung bambu itu. Dan dua belek minyak tanah dan digantungkannya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya. Ia mulai dari subuh dan berhenti pada jam sembilan pagi. Lalu dimulainya lagi sesudah asar, dan berhenti waktu magrib hapmpir tiba. Dan beberapa kali mengangkut tak dilupakannya mengisi kedua kolam ikannya. Untungnya sawahnya yang luas itu tidak begitu jauh dari tepi danau. Laki-laki itu bernama Sutan Duano.” Navis, 20031-2. Melalui penggalan cerita Sutan Duano digambarkan secara jelas sebagai tokoh yang baik hati, pekerja keras, kreatif dan pantang menyerah. Kreatif, “... diambilnya sekeret bambu, lalu disandangnya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya.” Navis, 1992 2 Pekerja keras, “... sisa umurnya dihabiskan dengan bekerja keras.“ Navis, 1992 3 Baik hati, “... disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya dan suka menolong setiap orang yang kesulitan.” Navis, 1992 5 Pantang menyerah, “Untuk kedua kalinya usaha Sutan Duano Kandas. Tapi, ia belum mau mengalah begitu saja.” Navis, 1992 15 Berdasarkan penggalan cerita tersebut maka sudah sangat jelas bahwa pengarang memang menempatkan sosok Sutan Duano sebagai sosok yang patut dicontoh dan dijadikan pendobrak paradigma tradisional yang hanya mengandalkan keyakinan di luar ajaran agama dan lebih memilih pasrah pada takdir ketimbang berusaha bekerja agar nasib dapat menjadi lebih baik. Kondisi masyarakat yang masih tradisonal dan memegang keyakinan di luar ajaran agama terlihat dalam Bab 1 tatkala pengarang membuat deskripsi latar cerita awal. ”Dan setelah tanah sawah mulai merekah, mulailah mereka berpikir. Ada beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan, Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpuk sabut kelapa dipanggangnya bersama sekepal kemenyan. Hanya asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke sawang bersama manteranya. ... Mereka pergilah setiap malam ke mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujan tak kunjung turun juga.” Navis, 2003 1. Dengan kondisi masyarakat yang demikan, Sutan Duano hadir sebagai pelopor dan contoh yang patut diikuti, meskipun pada praktiknya Sutan Duano malah dianggap gila karena menyimpang dari kebanyakan orang. Padahal yang dilakukan Sutan Duano adalah bukti semangat dan kerja keras yang tidak mau berpangku tangan pada nasib yang dialami. Pengarang menggunakan Sutan Duano sebagai profil ideal gambaran pribadi yang mempunyai niat dan semangat mengubah hidupnya di tengah lingkungan dan zaman yang tak bersahabat. Kerajinannya bekerja secara rutin dan teratur dengan memiliki agenda kegiatan dan jadwal yang tersusun dalam pikiran dan pola kebiasaan hidupnya terungkap dalam diri tokoh Sutan Duano meski hal itu sering tidak sejalan dengan keadaan lingkungan sosialnya. Misalnya ketika dia mempunyai idealisme mendidik hidup sehat. ”Kolam ikan yang kecil diperbaikinya. Disemainya anak ikan di dalamnya, lalu dibuatnya pula sebuah kakus umum di teopib kolan itu agar orang berak di sana dan ikannya mendapat makan. Dan sebidang tanah yang berbatu-batu di kaki bukit, di mana sebelumnya tak seorang pun berselera mengolahnya meski musim lapar itu, dimintanya untu dikerjakan.”Navis, 2003 3 Sikap dan perjuangan Sutan Duano sebenarnya merupakan cara pengarang mendidik masyarakat agar mengubah budaya perilaku yang tidak produktif sesuai dengan tuntutan zaman. Budaya yang hampir semua terlalu berkesan malas dan apa adanya tanpa adanya perbuhan menjadikan sosok Sutan Duano sebagai pedobrak budaya yang kurang baik. Termasuk budaya birokrasi yang terjadi dalam cerita tersebut yang coba diubah oleh Sutan Duano. ”Di waktu itulah Sutan Dunao memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakan. Sapi-sapi yang tak terrgembalakan lagi ditampungnya dengan perjanjian sedua.” Navis, 2003 5 Sikap dan perbuatan yang semula mendapat cacian dan hinaan akhirnya membawa hasil yang positif sehingga masyarakat pelan-pelan mengakuinya. Tiada usaha yang sia-sia, itulah yang mungkin diajarkan pengarang lewat tokoh Sutan Duano. Meskipun diawal begitu banyak cacian dan keraguan terhadapnya Sutan Duano tetap pada pendiriannya yang akhirnya membuatnya diakui dan disegani oleh penduduk sekitar. Sutan Duano juga digunakan oleh pengarang untuk mengubah sistem pinjam-meminjam uang serta budaya yang tak baik. ”Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. ... Karenanya ia sudah menjadi orang yang berarti dan disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang kesulitan. Lambat-lambat ia jadi pemimopin di kalangan petani untuk mengerjakan sawah. ... Sistem ijon diusahakannya melenyapkannya dengan meminjamkan uangnya sendiri tanpa bunga.” Navis, 2003 6 Begitu banyak hal yang dilakukan Sutan Duano sehingga nampak dengan jelas, tokoh tersebut ingin menyadarkan kita tentang begitu banyak hal yang mestinya kita lakukan dan meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat dan tak berguna. Penggambaran sifat dan karakter tokoh yang begitu jelas digambarkan pengarang baik lewat tingkah lakunya maupun dari uraian yang disampaikan langsung oleh pengarang melalui ceritanya telah memberikan penulis gambaran dengan jelas mengenai tema yang mungkin ada dalam novel Kemarau. Seperti, sifat kerja keras dan pantang menyerah, pembaharu dalam suatu tatanan kehidupan. Dari kemungkinan tema yang ada penulis masih harus mengkaji lebih dalam mengenai tema utama yang ada dalam novel Kemarau karena “untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu saja” . Setelah penulis menguraikan mengenai tokoh utama yang memberikan gambaran mengenai tema, selanjutnya penulis uraikan pula konflik yang terjadi dalam cerita. Jika konflik utama tersebut berhasil ditemukan, secara garis besar cerita fiksi yang bersangkutan sudah dapat dipahami, sehingga konflik utama merupakan modal penting untuk sampai pada penemuan tema. Permasalah yang menjadi pertama diangkat adalah masalah kemarau yang begitu panjang sehingga membuat sawah menjadi kering dan hasil panen tidak maksimal. Hal inilah yang kemudian menggerakan Sutan Duano mengajak masyarakat bergotong royong mengangkut air dari danau untuk mengairi sawah, namun hal tersebut ditolak, yang pada akhirnya berbuntut panjang mengiringi alur cerita yang dilandaskan dari musim kemarau berkepanjangan dan sikap pasrah para penduduknya. Tak tahu lagi Sutan Duano kepada siapa dia akan pergi. Wali Negeri yang jadi pemerintah di kampung itu sudah didatanginya. Yang punya sawah terluas sudah. Orang yang paling berpengerauh dikalangan petani, sudah. Ia yakin, kemanapun ia akan pergi, tentu ia akan mendapatkan sambutan yang sama. ... satu-satunya jalan bagi Sutan Duano ialah memberi contoh bagaimana mernjadi petani yang baik.” Navis, 2003 17 Tindakan Sutan Duano tersebut kemudian mendapat celaan, banyak orang yang menggap Sutan Duano sudah gila, namun tidak dengan Acin. Anak seorang janda yang justru kemudian memunculkan masalah baru. Masalah demi masalah menimpa tokoh utama, yang pada akhirnya mengungkap semua latar belakang dari Sutan Duano yang merupakan seseorang yang memiliki masa lalu kelam. Dari banyaknya konflik penulis memberikan kesimpulan bahwa masa lalu tokoh utama menjadikan tokoh utama selalu berada dalam masalah. Misalnya, keterkaitan antara masa lalu tokoh yang membuat tokoh enggan untuk beristri lagi menimbulkan banyak masalah, seperti adanya gosip mengenai Sutan Duano dengan Gudam, Sutan Duano dengan Saniah. “`Bapak naik jendela Mak malam-malam. Etek Saniah bilang,` kata Acin menantang. Terengah Sutan Duano mendengar kata anak itu. Ia tidak marah. Tidak pula mencoba meyakinkan Acin. Ia hanya terpulun oleh pikirannya sendiri. Dari mana anak itu bisa berpikir seburuk itu. Dan mengapa Saniah sampai berani berkata yang tidak-tidak. Apa maksud perempuan itu sebenarnya? Ia tak dapat memahami fitnah yang dilontarkan perempuan itu. Akirnya dilemparkannya pikirannya dari perempuan itu.” Navis, 2003 55 Diakhir cerita, masa lalunya begitu sangat memberikan masalah tatkala anak dari istri pertamanya menikah dengan anak dari istrinya yang lain. Aku tak tahu kau mengandung waktu itu, Iyah kalau ku tahu...” kata Sutan Duano dengan lemah ........ kini anak yang ku kandung itu, itulah Arni, istri Masri. Menantumu”.... Meskipun masalah yang menimpa tokoh utama begitu banyak dan pelik, pada akhirnya pengarang menyudahi semuanya dengan situasi yang membuat semua menjadi lebih baik. Karena tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan hanya menumpang secara eksplisit melalui cerita. Unsur-unsur yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokan sebagai fakta cerita-tokoh,plot, latar- yang “bertugas” mendukung dan menyampaikan tema tersebut. Dalam sebuah cerita fiksi, lazimnya ada tokoh utama, konflik utama dan tema utama. Ada keterkaitan yang pada antara ketiganya. Pelaku atau pemilik konflik utama pasti adalah tokoh utama, dan disitulah umumnya letak tema utama. Berdasarkan pada tokoh utama yang digambarkan oleh pengarang yang memiliki sifat bekerja keras dan tidak mudah menyerah, maupun dari konflik-konflik yang pengarang jabarkan mulai dari masalah sifat masyarakat yang tidak mau berusaha, pasrah tanpa mau berjuang, masyarakat yang lebih percaya takhayul daripada berusaha, masalah mengenai masa lalu kelam tokoh utama yang menghantuinya, yang sebenarnya karena masa lalunya itu pula tokoh utama berada dikampung yang menjadi latar dari cerita tersebut, dan usaha pertaubatan seseorang. Maka penulis berkesimpulan bahwa tema pada novel Kemarau dilihat dari tokoh utama dan konflik adalah usaha pantang menyerah seseorang dalam mengubah hidupnya menjadi lebih baik dan sesuai dengan ajaran agama yang disyariatan. Tema ini merupakan sindiran pula bagi mereka yang terlalu mempasrahkan dirinya tanpa mau berusaha. Tema pada novel ini juga mengingatkan kita tentang ayat Al-Qur’an yang memiliki arti “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka QS Ar-Ra’d ayat 11
Cerpen"Robohnya Surau Kami" Karya A.A Navis sebagai Karya Unik dari Sang Kepala Pencemooh Wa Ode Rizki Adi Putri Ali Akbar Navis atau A.A. Navis, Sang Kepala Pencemooh, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, 17 November 1924. Entah mengapa julukan ini sampai padanya. Mungkin karena ia adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos dan apa adanya.
Novel Kemarau Keberanian Navis Berjuang Mengubah Paradigma yang Membiasa dalam Masyarakat Minangkabau 1. Deskripsi fisik buku Judul Kemarau Pengarang Navis Kata Pengantar Sapardi Djoko Damono Penerbit, Kota Grasindo, Jakarta Tahun terbit 2003 Cetakan ke- 6 enam Jumlah halaman i-x; 117 halaman Ukuran 14 X 21 cm Musim kemarau yang melanda kali ini lebih panjang dari biasanya hingga merusak lahan pertanian dan tanamannya. Upaya dilakukan untuk mengatasi hal itu, bahkan pergi ke dukun untuk mendatangkan hujan. Nmaun, hasilnya tak berwujud. Penduduk daerah itu mulai putus asa dan mengisi waktunya dengan kegiatan yang tak produktif, seperti main domino, kartu lainnya, bahkan hanya ngobrol bersama. Tatkala orang-orang berpangku tangan berserah pada nasib, Sutan Duano mengangkut air danau yang ada di daerah itu untuk menyiram sawahnya. Secara rutin kegiatan itu dilakukannya pada pagi dan sore hari. Ia memang bukanlah penduduk asli daerah tersebut, melainkan seorang pendatang baru, yang tak diketahui oleh orang-orang di daerah itu asal muasalnya. Wali Nagari atau kepala desa telah mengizinkan Sutan Duano menempati sebuah surau tua yang lapuk. Saat Belanda mencoba menduduki kembali Indonesia, surau tempat tinggal Sutan Duano kedatangan seorang Haji Tumbijo, teman baik yang dikenalnya saat tinggal di kota. Ketika Haji Tuimbijo hendak kembali ke kota, ia berkata kepada Wali Nagari, “Ia sudah berubah. Ia akan menjadi orang yang berguna di sini” Navis, 20034. Situasi politik yang berkembang saat itu membuat orang berubah pola pikirnya. Mereka mulai berganti sudut pandang tentang hidup dan kesulitan kehidupan. Pola hidup lama berubah ke dalam kegiatan mengikuti kursus baca tulis, kursus lain, bahkan kursus politik. Di sisi lain seorang Sutan Duano juga memulai hidup barunya dengan kegiatan mengolah lahan pertanian yang tak terawat, memelihara ternak, bahkan membeli beruk untuk memanjat kelapa. Akibatnya, ketika orang mulai bosan dengan kegiatan kursus dan politiknya sementara kesulitan ekonomi terus menghadang, Sutan Duano telah menjadi seorang yang cukup berada di kampung itu dan akhirnya disegani oleh orang-orang sekitarnya. Keseganan masyarakat sekitar bukan karena kekayaan Sutan Duano, melainkan karena kebaikan hatinya. Secara bertahap Sutan Duano bisa memimpin para petani untuk mengerjakan sawahnya, menghapus sistem ijon dan tengkulak, serta mendirikan koperasi. Hal itu memperkokoh kepercayaan masyarakat kepada Sutan Duano hingga akhirnya dia diberi kepercayaan untuk menggantikan guru agama yang baru saja meninggal dunia. Maka, suraunya mulai ramai dikunjungi orang untjuk mengikuti pengajiannya. Langkah keberhasilan Sutan Dunao tersebut sesungguhnnya bermula dari Sutan Caniago, seorang petani yang hendak menjual padinya dengan sistem ijon karena butuh modal untuk berdagang di rantau. Ia berharap bisa mengubah nasibnya. ”Jangan bermain judi dengan nasib, Sutan,” kata Sutan Duano kepada lelaki itu. Sutan Duano juga menasihati lelaki itu membatalkan niatnya merantau ke kota. Di kota banyak godaan dan kemaksiatan. Kalau rajin, hidup di desa pun bisa membuat orang kaya dan berhasil. Namun, nasihat itu ditanggapi oleh Sutan Caniago sebagai penolakan permintaannya hingga membuatnya marah dan meningggalkan Sutan Duano. Esok harinya Sutan Duano mendatangi Sutan Caniago, lantaran ia ingat nasihat Haji Tumbijo serta niatnya utnuk mengubah perilaku dan kebiasaan penduduk agar hidup mereka menjadi lebih baik. Diberikannnya uang kepada Sutan Caniago sebagaimana diinginkan, namun ia memberi syarat harus menyuratinya setiap bulan. Sutan Caniago mengikuti syarat itu hingga akhirnya ia mengucapkan terima kasih atas nasihat Sutan Duano di surau dulu. Pada surat keempat ditulisnya bahwa Sutan Duano hanya mengambil hasil panen sebanyak uang yang diterimanya dulu, tidak mengambil seluruh hasil panen sebagaimana pengijon lazimnya. Sikap Sutan Duano ini menggemparkan isi kampung dan membuat keberadaannya semakin berarti bagi masyarakat. Sutan Duano juga mengajak penduduk bergotong royong menyiram sawah mereka dengan air danau yang terletak di pinggir kampung. Sutan Dunao mengajukan usul kepada Lembak Tuah, pemilik sawah terluas, serta Rajo Bodi, orang yang disegani. Namun, usulan itu ditolak dengan berbagai alasan. Mereka lebih senang pasrah kepada takdir yang diberikan Tuhan. Meskipun memiliki waktu dan tenaga untuk mengubah nasibnya, penduduk kampung lebih senang bermain kartu serta duduk-duduk ngobrol di lepau. Sutan Duano menyadari bahwa untuk mengubah kebiasaan dan pola pikir masyarakat diperlukan waktu dan proses yang panjang. Lantas Sutan Duano berniat memulai rencananya itu dari diri sendiri mengangkut air danau dan menyiran sawah miliknya. Acin, seorang anak janda muda mendatangi Sutan Duano yang sedang beristirahat habis menyiram tanaman. Ditanyakan oleh Acin mengapa Sutan Duano melakukan hal itu. Sutan Duano mengatakan bahwa manusia harus bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya. Anggapan masyarakat terhadap apa yuang dilakukan oleh Sutan Duano merupakan kesalahan berpikir. Maka, diajaklah Acin untuk melakukan hal yang sama. Omongan dan tafsiran orang tentang apa yang dilakukan oleh Sutan Duano dan Acin beraneka ragam. Di lepau berkembang isu bahwa Sutan Duano ada maksud tertentu mendekati Acin kepada janda muda, ibunya, Gudam.. Gunjingan itu menghapus jejak langkah Sutan Duano yang baik selama ini. Di pinggir sungai tempat para wanita mandi berkembang gosip bahwa Sutan Duano memang mendekati Gudam, si janda muda itu, sebab ia belum memiliki istri. Dalam suatu pengajian Sutan Duanio mengajak para ibu bergotong royong menyiram sawah mereka. Mayoritas mereka menolak dengan berbagai alasan dalam kaitannya dengan gudam, si janda muda. Si janda muda itu juga tidak datang dalam pengajian karena malu dengan gosip dirinya dan Sutan Duano. Sutan Duano marah mendengar hal itu. Namun, gosip itu berkembang menjadi fitnah. Gudam melarang Acin menyiran sawah serta menemui Sutan Duano. Ketidakdatangan Acin membuat kegiatan menyiram sawah Sutan Duano menjadi kacau. Sutan Duano sudah menganggap Acin sebagai pengganti anaknya yang hilang dua puluh tahun lalu. Sutan Duano merasa kesepian, apalagi ketika pengajian tidak satu ibu pun yang datang ke surau. Acin pernah menanyakan isu itu kepada ibunya, tapi dijawab bahwa hal itu hanyalah sebagai kata-kata jahat. Namun, isu berkembang terus hingga si Acin pernah ditemui oleh Saniah, janda yang menginginkan Sutan Duano. Acin menjawab benar isu tersebut. Hati kecilnya menginginkan hal itu. Saniah menjadi cemburu hingga berpikir untuk membuat fitnah. Diberitakannnya kepada Acin bahwa Gudam telah pernah tidur dengan Sutan Duano yang masuk lewat jendela. Acin berubah pikiran hingga benci kepada Sutan Duano. Di surau, Kutar menemukan dan membaca surat yang dikirim Masri berisi Sutan Duano agar ke Surabaya. Masri merupakan anak Sutan Duano yang hilang dua puluh tahun yang lalu. Kutar menceritakan hal itu kepada Acin hingga membuatnya cemas. Acin memberanikan diri bertanya kepada Sutan Duano perihal itu dan dijawabnya akan pergi setelah musim panen. Hal itu membuat Acin ingin agar ia diajak pergi, bukan Kutar. Ditanyakan pula isu yang diucapkan Saniah tentang Sutan Duano dan ibunya. Sutan Duano berhasil meyakinkan Acin bahwa hal itu tidak benar. Berita rencana kepergian Sutan Duano cepat menyebar. Kutar memberitahukannya kepada semua orang. Oleh sebab itu, masyarakat menginginkan acara perpisahan sebagai tanda persahabatan dengan orang yang banyak menolong namun belum sempat ada balas budinya. Di surau, Sutan Duano membaca kembali surat kiriman Masri itu. Hal itu membuatnya teringat masa lalu. Memang ia ingat setelah kematian ibunya Masri, istrinya, berkali-kali ia mencari penggantinya, namun berakhir dengan perceraian. Salah satunya, Iyah namanya, diceraikan tatkala sedang hamil. Pengalaman kawin cerai itu membuatnya mengambil pelampiasan kesepiannya berkencan dengan wanita malam. Masri yang tumbuh remaja mengetahui hal itu sehingga ia marah. Hal itu membuat Sutan Duano bingung. Ia mengadukan kesepian dengan perbuatannya. Sutan Duano sempat dipenjara karena keributannya dengan teman kencan. Hal ini membuat Masri kabur tak tentu jejak langkahnya. Keluar dari penjara selama tiga tahun, Sutan Duano menjadi kesepian. Anak satu-satunya pergi tanpa jejak hingga membuat Sutan Duano semakin tak karuan arah hidupnya. Mabuk-mabukan merupakan pelariannya. Ia terus berusaha mencari Masri, namun tak menemukan jejak kakinya. Suatu hari datanglah Haji Tumbijo, kakak iparnya, menasihatinya ”Carilah ia dalam hatimu, seperti kau mencari Tuhan, mencari kebenaran. Carilah dengan pahala-pahala dan kebaikan. Kalau telah dapat itu, telah dapat pahala dan kebaikan, engkau sudah menemui Tuhan. Sudah menemui kebenaran. Dan di situlah Masri berada,” katanya Navis, 197769. Kata-kata Haji Tumbijo itu menyentuh hati Sutan Duano. Maka, ia berusaha mengubah jalan hidupnya ke arah kebenaran serta berusaha menolong orang lain. Ia berharap bahwa pola itu dapat memupus kesalahan dan dosa masa lalunya. Maka, kehadiran Acin dalam waktu hidupnya mengingatkannya pada Masri hingga disayanginya. Terlintas dalam benaknya untuk menikah, tetapi kegagalan perkawinan kembali menghatuinya. Hal itu nampak tatkala Acin dan Gudam datang ke surau. Gudam meminta Sutan Duano menjadi ayah bagi anak-anaknya. Sutan mengatakan bahwa ia harus meninggalkan kampung tersbeut sebab harus menemui Masri yang telah lama tak bertemu. Sutan tak memberi batas waktu kapan akan kembali hingga jawaban itu dianggap sebagai penolakan oleh Gudam. Beberapa orang menemui Sutan Duano di surau dan menanyakan langsung kepadanya perihal kabar rencana kepergiannya ke Surabaya. Banyak di antaranya yang merasa berutang budi pada Sutan Duano sebab upaya pengairan sawah oleh Sutan Duano banyak memberikan manfaat bagi kaum petani kampung itu. Mereka juga masih memerlukan gagasan Sutan Duano untuk kehidupan mereka dan meminta agar Sutan Duano tidak meninggalkan kampung mereka. Sutan Duano memenuhi permintaan mereka. Kepergian Sutan Duano hanyalah menemui Masri, setelah itu kembali lagi ke kampung mereka. Ada surat dari mertua Masri yang sampai kepadanya bahwa Sutan Duano tak perlu ke Surabaya sebab kedatangannya justru akan merusak kebahagiaan keluarga Masri. Tatkala musim panen semakin mendekat, tiba-tiba datanglah pianggang hama walang sangit menyerang. Hal ini membuat Sutan Duano merasa mendapat cobaan baru. Maka disemprotlah sawahnya dengan antiserangga. Tetapi tiba-tiba kabar tak mengenakkan datang lagi, Acin sakit. Luka karena menyepak tahi kuda tatkala kesal dengan isu tingkah Sutan Duano tidur bersama ibunya membuatnya terkena tetanus. Kesulitan keuangan Gudam, ibu Acin, yang tak dibantu keluarganya untuk mengobatkan Acin ke Bukittingi akhirnya diatasi oleh Sutan Duano dengan janji bahwa Acin adalah anaknya juga. Sutan Duano dan Gudam akhirnya tumbuh cinta. Hal ini membuat Saniah cemburu dan memasang guna-guna di rumah Gudam yang sempat terlihat oleh Sutan Duano. Tatkala Gudam mengadakan syukuran atas kesembuhan Acin di rumahnya, Sutan Duano tak bersedia datang dengan alasan tak menyenangi pesta yang hanya untuk orang kaya. Gudam mendatangi Sutan Duano ke suraunya, tapi tetap tidak mau datang. Gudam merasa malu. Pulanglah dengan segera Gudam ke rumahnya. Di jalan gudam bertemu dengan Saniah yang menantangnya diiringi fitnah bahwa Gudam telah membayar utang kepada Sutan Duano dengan menjual dirinya. Maka, terjadilah perkelahian yang melibatkan keluarga kedua pihak hingga harus diakhiri oleh Wali Nagari. Rapat yang dipimpin oleh Wali Nagari itu sulit mncapai kata sepakat. Meski Wali Nagari berusaha membela Sutan Duano, rapat akhirnya memutuskan mengusir Sutan Duano dari kampung itu. Wali Nagari ditugasi oleh warga untuk menyampaikan putusan rapat. Akhirnya Wali Nagari dibantu oleh tokoh masyarakat mendatangi Sutan Dunao. Putusan rapat disampaikannya dengan berat hati. Sutan dengan keikhlasan menerima, dan mengatakan bahwa semua harta yang diperoleh dari kampung itu ditinggalkan dan piutangnya diserahkan kepada koperasi untuk menambah modal. Sutan Duano hanya memohon untuk bertemu dengan Acin sebelum ia berangkat, tetapi Gudam tidak mengizinkannya. Sutan Duano menyerahkan suat wasiatnya seluruh hartanya kepada Acin. Pergilah Sutan Duano meningalkan kampung itu menuju Surabaya. Ia langsung menuju ke rumah Masri. Ia malah bertemu dengan Iyah, istrinya dulu, yang ternyata adalah ibu Arni, istri Masri. Lebih tak disangkanya, ternyata Arni adalah anak kandungnya juga. Maka, terbongkarlah silsilah bahwa Masri dan Arni adalah kakak beradik, meski lain ibu. Hal itu sengaja tak diberitahukan oleh Iyah. Iyah tidak ingin merusak kebahagiaan mereka berdua. Tetapi, Sutan Duano bersikeras memberitahukan hal terlarang itu kepada anaknya. Kedua orang tua itu bersitegang dengan pendapat masing-masing. Iyah yang merasa sakit hatinya lantas memukul Sutan Duano dengan kayu hingga pingsan dan berdarah. Datanglah Masri dan Asri yang kaget dengan peristiwa itu. Diceritakanlah oleh Iyah apa yang terjadi hingga ia tak kuat menahan diri, lalu pingsan. Bertahun-tahun kemudian Iah meninggal di rumah sakit, tak lama setelah mebuka rahasia perkawinan Masri dan Arni. Masri dan Arni menyadari perkawian mereka dilarang agama. Maka, mereka berpisah. Tak lama kemudian Arni kemudian menikah dengan anak Haji Tumbijo, sedangkan Masri menikahi teman sekerjanya. Sutan Dunao pun kembali ke desa tepi danau, hidup rukun dengan Gudam beserta anak-anaknya, Acin dan Amah. Perjuangan Sutan Duano belum selesai sebab alam pikiran warga kampung telah membeku. Hidup berjuang dengan keikhlasan adalah jalan untuk menemui Tuhan Yang Maha Esa. Demikian Navis mengakhiri novelnya. 3. Latar Belakang Masalah Haji Ali Akbar Navis, lebih dikenal dengan nama AA Navis, yang di kalangan sastrawan digelari sebagai kepala pencemooh. Ia salah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Gelar yang lebih menggambarkan kekuatan satiris tidak mau dikalahkan sistem dari luar dirinya. Sosoknya menjadi simbol energi sastrawan yang menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Indonesia kehilangan sastrawan fenomenal. Sang Pencemooh kelahiran Kampung Jawa, Padangpanjang, 17 November 1924, ini adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para kopruptor. Maka pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justeru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu. Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini menjulang dalam sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal Robohnya Surau Kami terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri. Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi bamyak sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi. Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan’. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002. Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami 1955 Bianglala 1963, Hujan Panas 1964; Kemarau 1967, Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, 1970, Dermaga dengan Empat Sekoci, 1975, Di Lintasan Mendung 1983, Dialektika Minangkabau editor 1983, Alam Terkembang Jadi Guru 1984, Hujan Panas dan Kabut Musim 1990, Cerita Rakyat Sumbar 1994, dan Jodoh 1998. Ia seorang penulis yang tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Cerpenis gaek dari Padang, Navis pada 17 November lalu genap berusia 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep 1975, Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin cerpen pemenang majalah Femina 1979, Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an ada yang ditulis tahun 1950-an. Menulis bukanlah pekerjaan mudah, namun memerlukan energi pemikiran serius dan santai. ”Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta, dua tahun lalu. Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? ”Soalnya, senjata saya hanya menulis,” katanya. Baginya menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. ”Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen,” katanya seperti dikutip Kompas. Minggu, 7 Desember 1997. Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh. Ia juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran. Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan tinggi orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan orang mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan. Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. “Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi,” katanya. Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. ”Sekarang sastra itu fungsinya apa?” tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya. Ia juga melihat perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. Dulu si pengarang itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. ”Saya kira tak ada karya pengarang sekarang yang monumental, yang aneh memang banyak,” ujarnya. Perihal orang Minang, dirinya sendiri, ia mengatakan keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Ia mengatakan sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia galir, ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar. Itulah AA Navis Sang Kepala Pencemooh.[1] Istilah sastra dapat ditemukan dalam berbagai konteks pernyataan yang berbeda satu sama lain. Maksudnya, sastra bukanlah sekadar istilah guna mengemukakan feomena yang sederhana atau gamblang, melainkan sastra memiliki arti luas dalam rangkaian yang berbeda. Secara signifikan, untuk memahami karya sastra secara lebih mendalam diperlukan tiga dorongan yang mendasari kehidupan manusia yang menjadi pusat perhatian kegiatan penulisan sastra sejak awal zaman hingga sekarang, yaitu dorongan religius, sosial, dan personal. [2] Religiusitas sastra nampak dalam kehidupan kebaktian beragama berdasarkan isnpirasi ajaran agama yang mencerminkan persepsi manusia sebagai `ciptaan`, keterlibatannya, serta sikap dan pandangan terhadap ciptaan itu. Dorongan sosial berhubungan erat dengn tingkah laku dan hubungan antarindividu dalam komunitasnya. Di dalamnya, dorongan sosial tersebut menghasilkan karya-karya sastra yang bernuansa nilai-nilai hakikat hidup dan khidupan serta problema manusia di dalamnya. Dorongan personal mengarah pada penjelajahan pribadi hingga muncullah biografi atau otobiografi, bahkan penulis berusaha menjelajahi sisi pribadi dan kadang ingin mengubah alam kesadaran manusia. Karya sastra seringkali mengngkapkan keprihatinan penulis terhadap hakikat nilai-nilai dalam kaitannya dengan eksistensi manusia. Novel Kemarau merupakan karya sastra yang secara historis muncul dalam bentuk cerita bersambung yang dimuat dalam Harian Res Publica, Padang, tahun 1964. [3] Oleh Penerbit Nusantara, Bukittinggi, karya tersebut diterbitkan dalam bentuk novel, yang kemudian diolah lagi oleh Penerbit Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1997, dan mulai tahun 1992 diolah oleh Penerbit Grasindo, Jakarta. Novel Kemarau banyak dibicarakan oleh para kritikus dari berbagai sudut pandang. Masalah yang diungkapkan dalam novel ini selalu menarik dan layak bahas hingga kini. Gaya penyampaian pengarang memberikan kesan tersendiri, ada yang menganggapnya satiris berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya. Tokoh cerita digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan sikap dan perjuangan yang perlu dilakukan untuk mengubah paradigma yang mengikat dan telah membiasa dalam pikiran, perkataan, dan perilaku perbuatan. Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Rene Wellek dan Austin Warren membahas hubungan sastra dan masyarakat sebagai berikut Literature is a social institution, using as its medium language, a social creation. They are conventions and norm which could have arisen only in society. But, furthermore, literature represent’ life’; and life’ is, in large measure, a social reality, eventhough the natural world and the inner or subjective world of the individual have also been objects of literary imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific social status; he recieves some degree of social recognition and reward; he addresses an audience, however hypothetical. 195694[4] Senada dengan pernyataan di atas, Damono dikutip Wahyudi Siswanto 2008 dalam Pengantar Teori Sastra mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang Bagaimanapun, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.[5] Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahiu strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. Sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap. Tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah mengubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial. Di sisi lain, sastra sebagai suatu alat dapat memberikan perjuangan pada kepentingan tertentu, misalnya untuk mendidik dan mengubah masyarakat pembacanya. Di samping juga mencerminkan kenyataan, sastra mampu `mengubah kenyataan` -meski tidak langsung- sehingga dapat membuka mata masyarakat terhadap ketidakberesan apa pun, kebobrokan moral, bahkan kebejatan mentalitas yang terjadi dalam masyarakat. Novel Kemarau dikemas dalam 20 bab oleh pengarangnya, diakhiri dengan bagian penutup. Sayangnya tidak ada bagian pendahuluan secara eksplisit, meskipun hal yang dimaksud sama dengan Bab 1 dalam novel itu. Kondisi masyarakat yang masih tradisonal dan memegang keyakinan di luar ajaran agama terlihat dalam Bab 1 tatkala pengarang membuat deskripsi latar cerita awal. ”Dan setelah tanah sawah mulai merekah, mulailah mereka berpikir. Ada beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan, Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpuk sabut kelapa dipanggangnya bersama sekepal kemenyan. Hanya asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke sawang bersama manteranya. ... Mereka pergilah setiap malam ke mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujan tak kunjung turun juga.” Navis, 2003 1. Sutan Duano dikisahkan sebagai tokoh yang mempunyai niat dan semangat untuk mengubah kerangka berpikir warga kampung sekitar tempat tinggalnya. Ia berjuang di tengah masyarakatnya untuk megubah watak masyarakat yang terbiasa menyerah pada takdir daripada bekerja keras `melawan nasib` guna memperbaiki kehidupannya. ”Hanya seorang petani saja berbuat lain. Ia seorang laki-laki sekitar 50 tahun. Badannya kekar dan tampang orangnya bersegi empat bagai kotak dengan kulitnya yang hitam oleh bakaran matahari. Pada ketika bendar-bendar tak mengalir lagi, sawah-sawah mulai kering matahari masih bersinar maraknya tanpa gangguan awan sebondong pun, diambilnya sekerat bambu. Lalu disandangnya di kedua ujung bambu itu. Dan dua belek minyak tanah dan digantungkannya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya. Ia mulai dari subuh dan berhenti pada jam sembilan pagi. Lalu dimulainya lagi sesudah asar, dan berhenti waktu magrib hapmpir tiba. Dan beberapa kali mengangkut tak dilupakannya mengisi kedua kolam ikannya. Untungnya sawahnya yang luas itu tidak begitu jauh dari tepi danau. Laki-laki itu bernama Sutan Duano.” Navis, 20031-2. Pengarang menggunakan Sutan Duano sebagai profil ideal gambaran pribadi yang mempunyai niat dan semangat mengubah hidupnya di tengah lingkungan dan zaman yang tak bersahabat. Kerajinannya bekerja secara rutin dan teratur dengan memiliki agenda kegiatan dan jadwal yang tersusun dalam pikiran dan pola kebiasaan hidupnya terungkap dalam diri tokoh Sutan Duano meski hal itu sering tidak sejalan dengan keadaan lingkungan sosialnya. Misalnya ketika dia mempunyai idealisme mendidik hidup sehat. ”Kolam ikan yang kecil diperbaikinya. Disemainya anak ikan di dalamnya, lalu dibuatnya pula sebuah kakus umum di teopib kolan itu agar orang berak di sana dan ikannya mendapat makan. Dan sebidang tanah yang berbatu-batu di kaki bukit, di mana sebelumnya tak seorang pun berselera mengolahnya meski musim lapar itu, dimintanya untu dikerjakan.” Navis, 2003 3 Sikap dan perjuangan Sutan Duano sebenarnya merupakan cara pengarang mendidik masyarakat agar mengubah budaya perilaku yang tidak produktif sesuai dengan tuntutan zaman. Birokrasi yang membudaya dalam adat Wali nagari yang egois untuk kepentingan nafsu diri harus diatasi oleh Sutan Duano. ”Di waktu itulah Sutan Dunao memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakan. Sapi-sapi yang tak terrgembalakan lagi ditampungnya dengan perjanjian sedua.” Navis, 2003 5 Sikap dan perbuatan yang semula mendapat cacian dan hinaan akhirnya membawa hasil yang positif sehingga masyarakat pelan-pelan mengakuinya. Sutan Duano juga digunakan oleh pengarang untuk mengubah sistem pinjam-meminjam uang serta budaya yang tak baik. ”Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. ... Karenanya ia sudah menjadi orang yang berarti dan disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang kesulitan. Lambat-lambat ia jadi pemimopin di kalangan petani untuk mengerjakan sawah. ... Sistem ijon diusahakannya melenyapkannya dengan meminjamkan uangnya sendiri tanpa bunga.” Navis, 2003 6 Sutan Duano juga digunakan oleh navis untuk mendidik masyarakjat agar jangan suka mengadu nasib ke daerah lain-kota dengan budayanta meminjam untuk modal usahanya. ”Sebulan setelah lamanya laki-laki itu di rantau, datangklah suratnya yang mengatakan ia telah memulai kelilingh, berdagang baju konveksi. ... Akhirnya, pada surat yang keempat, dikatakannya bahwa ia mertasa sangat terharu karena Sutan Duano telah mengembalikan hasil padinya yang dijualnya dengan hanya memotong seharga uang yang diberikannya dulu.” Navis, 2003 12 Niat Sutan Duano begitu besar untuk mengubah plola hidup masyarakat memang banyak mengalami hambatan, baik dari Wali Negeri, tokoh masyarakat, orang terrkaya, tokoh petani. Tetapi niat besar tersebut tidak menyusut. ”Yang dimauinya ialah hendak mengubah cara hidup orang di kampung itu. Mereka terlalu banyak membuang waktu. Lalai bila mereka menganggap pekerjaan telah habis. Sedang sebenarnya meereka itu adalah bangsa yang ulet dan rajin. Ia selalu melihat betapa rajinmnya mereka bila musim ke sawah tiba. ...Tetapi... tak tentu lagi apa yang mereka perbuat. Mereka akan mengabiskan waktunya di kedai kopi, nongkrong atau main domino. Menurut pendapat Sutan Duano, bagi mereka itu harus dicarikan pekerjaan. Asal ada pekerjaan yang tersedia, tentulah mereka akan mau mengerjakannya. Mengubah pekerjaan bukanlah kebiasaan mereka. ... Mereka tidak bercita-cita mengubah hidup ke arah yang lebih tinggi... satu-satunya jalan bagi Sutan Duano ialah memberi contoh bagaimana mernjadi petani yang baik.” Navis, 2003 17 Kesabaran dan ketabahan hati Sutan Duano amat teruji dan terukur dengan berbagai peristiwa yang dialaminya, baik pergunjingan, reaksi orang lain atas kebijakannya, maupun aksi sebagian orang. Kebimbangan kadang muncul dalam benaknya. ”`Bagaimana lagi cara aku mengubah jalan pkikiran orang di sini? Berapa lama aku dapat mengubahnya? Namun, niatnya demikian kuat dengan langkah-langkah yang mapan,` katanya. ... `Agaknya ambisiku terlalu besar. Hatiku jadi sakit kalau gagal. Tetapi apakah ancaman kemarau ini tidak mamou membukakan mata mereka itu?`” Navis, 2003 35 ”Tapi mengapa begitu? pikirnya kemudian. Apakah ini bukan suatu isyarat dari Tuhan bagiku? Tapi buat apa? Apakah hidupku di sini tak diridai-Nya? Tentu ada apa-apanya. Kalau tidak, tidak akan begini jadinya. Mungjkin juga aku disuruh pergi dari kamopung ini. Oleh penduduk di sini? Oh, tidak mungkin. Jadi, olerh siapa?” Navis, 2003 45 Cobaan dan hinaan yang kadang terencana oleh pihak tertentu sering membuat Sutan Duano juga berlatih kesabaran lebih jauh serta ketabahan dan kedewasaan bertindak. “`Bapak naik jendela Mak malam-malam. Etek Saniah bilang,` kata Acin menantang. Terengah Sutan Duano mendengar kata anak itu. Ia tidak marah. Tidak pula mencoba meyakinkan Acin. Ia hanya terpulun oleh pikirannya sendiri. Dari mana anak itu bisa berpikir seburuk itu. Dan mengapa Saniah sampai berani berkata yang tidak-tidak. Apa maksud perempuan itu sebenarnya? Ia tak dapat memahami fitnah yang dilontarkan perempuan itu. Akirnya dilemparkannya pikirannya dari perempuan itu.” Navis, 2003 55 Sikap dan ketulusan hatinya menolong sering membuat orang semakin simpati, namun hal itu tidak memperkuat hatinya tatkala problema psikologis muncul berkaitan dengan masa lalu. Memang, masa lalu sering menjerat orang dan menjebaknya dalam kerangkeng pikiran sempit yang merugikan untuk langkah berikutnya. ”`Kita aklan kehilanghan, kalau jadi ia pergi,` kata Uwo Bile. `Orang kampung kita sudah terlalu banyak memakan budinya,1 ulas Datuk Sanga sambil memilin-milin kumisnya. `Tapi di saat terakhir ini, kita tekah mengkhianatinya. Kita seolah sepakat saja menghindarkan diri dari padanya. Aku pun orang celaka, ikut-ikutaan pula menghindari diri.`” Navis, 2003 59 ”Dan pintu itu terbuka, ia tertegun. Di lantai dilihatnya sepucuk surat. Surat yang berperangko. Selama ia menetap di kampung itu, itulah buat pertama kalinya ia menerima surat. Darahnya tersirap juga melihat surat yang tergeletak di lantai itu. ... Dibacanya alamat si pengirim. Tangannya jadi gemetar. Tercenung dan tak tahu ia apa yang hendak dilakukannya terlebih dulu. Surat itu ternyata dari anaknya di Surabaya.” Navis, 2003 63 Masa lalu akhirnya disadari sebagai dosa yang harus ditebus dengan berbuat baik bagi orang lain agar memperoleh pahala. Hal ini merupakan prinsip dasar yang memperkokoh perjuangan Sutan Duano dalam memperjuangkan niatnya mengubah rakyat sekitar tempat tinggalnya ke arah hidup yang lebih baik. Nasihat haji Tumbijo merasuk dalam hatinya. “Tapi haji Tum bijo telah mengatakan padaku,`Kalau Masri, anakmu telah menemui kesengsaraan dan melakukan dosa-dosanya tersebab kau tak mampu mendidiknya selama ini, hapuslah dosanya itu dengan melakukan kebaikan bagi setiap kesengsaraan orang lain. Hadiahkan pahalamu itu semua buat keselamatannya. Mudah-mudahan Tuhan menerimanya. Kalau Masri masih hiduop, dengan perbuatan baikmu yang kauitikadfkan untuk Masri tiu, terlindunglah Masri dati kesengsaraan dan kerhancuran.`” Navis, 200368 6. Kelebihan dan Kekurangan Novel Kemarau Novel Kemarau mengemukakan sikap dan niat perjuangan seorang guru agama dalam mengubah fokus pikiran dan kerangka berpikir masyarakat yang masih diliputi penalaran tradisional penuh dengan kekuatan takhayul dengan memegang tradisi nenek moyang tanpa diikuti nalar sehat atau sikap kritis. Bahkan hal ini sering tak sejalan atau berbenturan dengan ajaran agama yang mereka ikuti. Berdasarkan hal tersebut novel ini mempunyai peranan penting dalam khazanah sastra Indonesia dalam nuansa Islami. Kemarau menampilkan problematika manusia dalam memahami dan menjalankan ajaran agama dalam konteks budaya dan tradisi yang berlaku dalam komunitas tertentu sebagai latar cerita. Ajaran agama dikemas oleh pengarang melalui nuansa motivasi tokoh dalam upaya memahami dan menjalankan ajaran agama di tengah masyarakatnya. Oleh karena itu, Kemarau tidak bersifat dogmatis, melainkan kisah perjuangan tokoh cerita dalam memahami dan menjalankan ajaran agama. Oleh Navis tema di atas dikemas melalui pengunaan bahasa yang lugas, dialogis, dan berisi. Hal ini memperkuat bahwa amanat sampai kepada pembaca dengan baik, meski pengarang dikenal sebagai penulis bergaya satiris, sinis, dan jago mencemooh. [6] Tokoh cerita dikemas sebagai pibadi yang mampu mengundang simpati masyarakat sekitar sehingga secara bertahap pola berpikir dan cara hidupnya mampu mengubah pola dan cara hidup masyarakat. Melalui novel Kemarau Navis berani menunjukkan dirinya sebagai penganut agama Islam yang baik, bukan sebagaimana ditudingkan oleh teman-teman sebelumnya bahwa ia penganut komunis akibat kesalahpahaman yang tk disengaja. Naavis diundang dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Denpasar Bali, Agustus 1963, yang tak diketahuinya kegiatan itu disponsori oleh PKI. Akibatnya, dia dikucilkan oleh teman-teman pengarang lainnya di berbagai kota. Ketika menggubah Robohnya Surau Kami menjadi drama yang ditampilkan di Universitas Gadjah Mada, Bastari Asnin mengemukakan kekecewaannya atas kehadiran Navis dalam acara di Bali itu. Berdasarkan hal inilah Navis mempunyai greget menulis novel yang menunjukkan bahwa dirinya bukan komunis. Kekurangan Kemarau Novel Kemarau memang karya sastra yang Amat penting dalam sastra Indonesia dengan karakteristik bercerita pengarangnya yang khas menggelitik pikiran pembaca. Hanya saja novel ini diakhiri dengan pola pengahiran seperti cerita pendek dalam kemasan singkat. Pengarang mengakhiri cerita secara eksplisit jelas dan transparan, Namun, dikemas dalam rangkaian kata yang singkat dan deskriptif langsung sehingga tak memberikan peluang kepada pembaca untuk mengembangkan imajinasinya. Apalagi bila hal itu dilihat pada bagian ujung cerita tentang nasib tokoh-tokoh ceritanya. Referensi Navis Karya dan Dunianya karangan Ivan Adilla, Penerbit Grasindo, Jakarta, halaman 167. Ali Akbar Navis In Memoriam, Sastrawan, Sang Kepala Pencemoh dalam TokohIndonesia DotCom Ensiklopedi Tokoh Indonesia, diakses 31 Maret 2011, pukul WIB Rahmanto, B.. Metode Pengajaran Sastra, saduran bebas dari The Teaching of Literature karangan Moody. Yogyakarta Penerbit Kanisius. Navis, 2003. Kemarau. Jakarta Gramedia Widiasarana Indonesia. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta Grasindo. TokohIndonesia DotCom Ensiklopedi Tokoh Indonesia, diakses 31 Maret 2011, pukul WIB [1] TokohIndonesiaDotCom Ensiklopedi Tokoh Indonesia, diakses 29 Maret 2011, pukul WIB. [2] B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, saduran bebas dari The Teaching of Literature karangan Moody, Penerbit Kanisius, halaman 13. [3] Navis Karya dan Dunianya karangan Ivan Adilla, Penerbit Grasindo, Jakarta, halaman 167. [5] Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta Grasindo. [6] Ali Akbar Navis In Memoriam, Sastrawan, Sang Kepala Pencemoh dalam TokohIndonesia DotCom Ensiklopedi Tokoh Indonesia, diakses 31 Maret 2011, pukul WIB
Sebagaisastrawan, A.A. Navis telah meraih sejumlah penghargaan atas karya-karya yang dihasilkannya, antara lain (1) "Robohnya Surau Kami" dinobatkan sebagai cerpen terbaik majalah Kisah tahun 1955.
Ketika nama sastrawan Ali Akbar Navis atau AA Navis disebut, kita mungkin akan langsung mengingat "Robohnya Surau Kami". Cerpen karangan Navis yang terbit pertama kali di majalah Kisah pada 1955 itu kemudian dikenal luas masyarakat. Soalnya, cerpen itu bukan hanya mendapat apresiasi positif dari pembaca dan pengamat sastra, tapi juga kontroversial karena dinilai mengejek Islam oleh beberapa tahukah kamu bahwa dua tahun kemudian Navis menulis cerpen lain yang juga mendulang lebih banyak kontroversi setelah diterbitkan harian Nyata di Bukittinggi dan majalah Siasat di Jakarta? Judul cerpen itu "Man Rabuka". Saking kontroversialnya, Nyata dan Siasat sampai harus mencabut cerpen tersebut dan meminta pembaca menganggap "Man Rabuka" tidak pernah ada."Ini. Ini enak, Tuan Malaikat. Isaplah candu ini. Enak ini. Reguklah tuak ini. Sedap ini. Lihatlah gambar-gambar ini, alangkah cantik-cantiknya wanita ini, Tuan Malaikat. Inilah surga, Tuan Malaikat."Ali Akbar Navis pernah mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Denpasar, Bali pada 1963. Foto Oey Hay Djoen/ISSI/ ucapan Jamain, tokoh utama dalam cerpen "Man Rabuka", kepada malaikat di alam kubur. Dalam cerpen karangan Navis ini terjadi percakapan antara malaikat dan dua jasad bersaudara, Jamain dan Jamalin. Semasa hidupnya, tabiat dua bersaudara ini bak bumi dan langit. Jamain hidup bergelimang dosa, sedangkan Jamalin yang alim lekat dengan ibadah .Secara harfiah, man rabbuka berarti "Siapa Tuhanmu?". Dalam ajaran Islam, pertanyaan ini akan ditanyakan malaikat kepada manusia di alam kubur. Namun, Jamain dalam kisah “Man Rabuka” malah mengartikan pertanyaan malaikat itu "Apa bekalmu?". Dan, karena ia dikubur bersama peti berisi candu, tuak, gambar porno, maka Jamain mengajak malaikat untuk menikmati barang-barang haram cerita, malaikat kemudian terbujuk dan terlena. Ia bahkan marah besar saat botol tuak milik Jamain sudah kosong. Malaikat lalu menendang Jamain dengan kaki kanan, sehingga ia melayang ke surga. Sementara Jamalin kena tendang kaki kiri malaikat sampai ia mendarat di kumpulan cerpen "Robohnya Surau Kami".Berkat imajinasi Navis yang kreatif dan berani, cerpen "Man Rabuka" jadi kental dengan kritik tajam sekaligus jenaka serta satire. Namun, kalangan umat Islam menilai cerpen itu sangat melecehkan agama Islam. Setelah dicabut dan dianggap tidak ada oleh harian Nyata dan majalah Siasat, "Man Rabuka" akhirnya hilang ditelan bumi. Cerpen ini juga tak pernah dibahas dalam sastra setengah abad kemudian, Ismet Fanany, dosen dan peneliti Deakin University di Australia, berhasil menemukan cerpen "Man Rabuka" di edisi majalah Siasat yang tersimpan dalam microfiche lembaran film 10 x 15 sentimeter di perpustakaan Monash University, Melbourne, analisa Ismet, seperti dikutip majalah Tempo, cerpen tersebut hilang karena tiga sebab. Pertama, banyak orang menganggap "Man Rabuka" memberi gambaran tidak baik tentang Islam. Kedua, cerpen ini diduga lanjutan dari "Robohnya Surau Kami" yang juga dinilai melecehkan Islam. Ketiga, cerpen ini terbit dalam suasana Sumatera Barat menentang kebijakan pemerintah Soekarno. Buktinya, pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia PRRI terjadi dua bulan pasca terbitnya "Man Rabuka".AA Navis bersama Gubernur DKI Ali Sadikin. Foto Yayasan LontarMenurut Ismet, "Man Rabuka" adalah korban "Robohnya Surau Kami" yang terbit lebih dulu dua tahun sebelumnya. "Sewaktu 'Robohnya Surau Kami' terbit, berbagai kalangan menganggap Navis mengejek Islam dan malah ada yang menuduhnya komunis atau Murba. Ketika 'Man Rabuka' terbit, tuduhan dan ejekan orang jauh kebih kuat," tulis Ismet."Sejak itu 'Man Rabuka' tidak pernah muncul lagi dalam antologi cerpen Navis yang banyak sekali jumlahnya. Sedangkan 'Robohnya Surau Kami' sepertinya dimaafkan dan muncul dalam berbagai antologi," kata Ismet dalam kolomnya "Mengumpulkan Cerpen Navis yang Terserak" di majalah Tempo edisi 4 September sebagai anggota Partai Komunis Indonesia PKI terhadap Navis dibenarkan Aksari Jasin, 86 tahun. Menurut istri Navis ini, setelah "Robohnya Surau Kami" terbit, mereka pernah didatangi polisi. "Nanti jika Papi tidak pulang, cari saja ke kantor polisi," kata Aksari teringat ucapan mendiang suaminya saat Navis bersama istri, Aksari Jasin. Foto Majalah TempoTak hanya itu. Pada 8-11 Agustus 1963, Navis mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Denpasar, Bali. Sepulang dari acara itu, ia dicap komunis dan dijauhi teman-teman pengarang di Sumatera Barat. Sebab, konferensi tersebut dihadiri para pengarang berhaluan kiri, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Agam pengarang Islam, Navis membantah tudingan itu dengan menulis cerpen "Kemarau di Maninjau". Isi cerpen itu menegaskan pandangan keislaman Navis dan juga soal humanisme yang terkontrol oleh agama. Baginya, humanis yang tidak terkontrol oleh keimanan adalah "Robohnya Surau Kami" sendiri terinspirasi dari pengalaman nyata Navis saat pulang ke Padang Panjang dan melewati surau tempat belajar mengajinya semasa kecil. Surau itu sudah runtuh. Ia lalu bertanya kepada seorang perempuan yang tinggal dekat situ. Kata perempuan tersebut, sejak kakek garin-nya dalam bahasa Minangkabau, garin berarti penjaga masjid, red meninggal, tidak ada lagi yang mau Navis lahir pada 17 November 1924 di Kampung Jawa, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia adalah anak tertua dari 12 bersaudara. Ayahnya Nafis Sutan Marajo dan ibunya bernama Sawiyah. Jiwa seninya sudah terlihat sejak ia masih kecil. Ia menyukai kerajinan tanah liat dan antologi ini memuat 68 cerpen karangan AA remaja, ia bergabung dalam grup kesenian Barisan Seni Bangsa yang rajin mementaskan sandiwara, musik, dan melakukan pameran seni lukis. Ia juga mendirikan kelompok Seniman Muda Indonesia dan masuk dalam Sumatera Symphony Orchestra sebagai pemain berusia 28 tahun, Navis sempat tiga tahun bekerja sebagai pegawai pemerintah di Departemen Pendidikan di Bukittinggi. Di kala senggang, pria humoris ini menulis cerita dan sandiwara dengan mesin ketik di kantornya untuk disiarkan di Radio Republik Indonesia otobiografinya, Navis Satiris dan Suara Kritis dari Daerah 1994, Navis menyatakan bahwa menulis karya sastra merupakan bentuk ekspresi kegiatan intelektualnya. Ia selalu menyoroti kehidupan sosial, manusia, dan kemanusiaan dalam setiap karya sastranya. Ia juga setia menjadikan Minangkabau sebagai ruh dari karya-karyanya baik dalam wujud tokoh, perilaku, maupun lingkungan buku otobiografi ini, AA Navis juga mengungkapkan visi di "Man Rabuka", Navis juga mengangkat cerita tentang kehidupan sebelum dan setelah mati dalam cerpen "Dokter dan Maut", yang mengisahkan proses kematian lewat dialog antara Maut dan calon mayat. Begitu pula dalam cerpen "Sebuah Wawancara" yang menuturkan tentang wartawan yang bercerita kepada para nabi tentang kondisi kehidupan data Ismet Fanany, AA Navis sudah menulis 69 cerpen sampai akhir hayatnya pada 23 Maret 2003. Akan tetapi, hanya 68 cerpen yang berhasil ditemukan untuk dikumpulkan dalam buku Antologi Lengkap Cerpen Navis 2004. Satu cerpen yang masih belum ditemukan itu berjudul "Baju di Sandaran Kursi".Bagi Ismet, masa berkarya AA Navis begitu panjang. Ia juga selalu menunjukkan keberanian dan kebebasan sebagai penulis, serta senantiasa berusaha mencari kesempurnaan dalam membuat Majalah Tempo edisi 4 September 2016Sumber foto header Wikipedia/
Sastrawanbernama lengkap Ali Akbar Navis ini menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 2013 karena komplikasi dan penyakit jantung. Meskipun ia wafat karya-karyanya tetap abadi seperti "Robohnya Surau Kami", Kemarau (1992), Saraswati Si Gadis dalarn Sunyi, (1970), dan lain lain.
Skip to content BerandaProfilKeluargaPergaulanTak Suka DiamPandangan KebudayaanPandangan PendidikanPandangan KesusasteraanKarya SastraOtobiografiPengantarOtobiografiKarya & KegiatanPandangan TokohPerpustakaanCerpenNovelCerita RakyatPuisiMakalahArtikelGaleriFotoVideoKontributorKontribusi CerpenKontribusi PuisiKontribusi EsseiKontribusi FotoKontribusi ResensiKontakLogin Cerpen Cerpen2021-11-26T163159+0700 Cerpen“Gugatan sosial yang diajukannya itulah yang membuat karya-karya fiksi Navis menjadi bahan dokumentasi sosial’ yang sangat berharga dalam perkembangan sastra kita…”. KH. Abdulrahman Wahid, budayawan/mantan Presiden Republik Indonesia Lagu Kenangannyaadmin2022-03-31T232341+0700March 31st, 2022Cerpen Navis Lagu Kenangannya ALANGKAH bencinya aku pada lagu itu. [...]Read More 0 I b uadmin2022-05-30T132339+0700March 31st, 2022Cerpen Navis I b u IBU sangat menyayangi kami, [...]Read More 0 Mariaadmin2022-03-31T205558+0700March 31st, 2022Cerpen Navis M a r i a AIR Batang Antokan [...]Read More 0 Fragmenadmin2022-05-30T191111+0700February 26th, 2022Cerpen Navis Fragmen RENCANANYA Ben Virga, penyair itu, bangun [...]Read More 0 Ganti Lapikadmin2022-02-22T160256+0700February 22nd, 2022Cerpen Navis Ganti Lapik SUDAH sepuluh tahun lebih aku tak [...]Read More 0 Kisah Seorang Amiradmin2022-02-26T153153+0700January 18th, 2022Cerpen Navis Kisah Seorang Amir DI KAMPUNGKU banyak benar [...]Read More 0 12NextKaryatulis. Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005) Gerhana: novel (2004) Kemarau (1967) Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963) 20:06. bagus banget mas menulis tentang tokoh-tokoh seperti ini saya jadi tau tentang AA Navis sastrawan yang sangat terkenal. balas; Tulis komentar baru. Nama Anda: * email: * Materi isian ini bersifat This study aims to provide sympathetic insight for who are interested in short stories in Indonesia through the perspective of Linda Hutcheon historical postmodernism. Through this research, we can find a description of story facts and the ideas of the author that are realized through the center and the periphery, along with the contextualization aspects of the short story Navis’ Robohnya Surau Kami to nowadays society. This research also contributes to literary works appreciation to educational institutions, academics, the society of literary enthusiasts, and the wider community in the form of short story research with the perspective of Linda Hutcheon’s postmodernism so that it is expected to increase the quantity of practice in postmodernism studies. The methodology used in the short story Robohnya Surau Kami using Linda Hutcheon's postmodernist theory is a descriptive method of analysis, by describing the facts which are then analyzed. The analysis does not merely describe but also gives sufficient understanding and explanation. Robohnya Surau Kami by A. A. Navis is a monumental work A. A. Navis containing religious elements. In his work, A. A. Navis presents inner experiences about the concept of the religious life of small communities in Indonesia. This short story is an outstanding and popular work as it is considered as a rare religious literature; AA Navis does not merely tell about worship and devotion to God, but also humanitarian values in Indonesia loaded with caring and tolerance so that it is necessary to trace the facts of the story in the short story, identify the center and the periphery that triggers conflict, and the implications of its contextualization of society in the present. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SASDAYA Gadjah Mada Journal of Humanities e-ISSN 2549-3884 e-mail ANALISIS CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI” KARYA NAVIS DALAM PERSPEKTIF POSMODERNISME LINDA HUTCHEON Rudi Ekasiswanto Email rudiekasiswanto Staf Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia, Departemen Bahasa dan Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRACT This study aims to provide sympathetic insight for whom are interested in short stories in Indonesia through the perspective of Linda Hutcheon historical postmodernism. Through this research, we can find a description of story facts and the ideas of the author that are realized through the center and the periphery, along with the contextualization aspects of the short story Navis’ Robohnya Surau Kami to nowadays society. This research also contributes to literary works appreciation to educational institutions, academics, the society of literary enthusiasts, and the wider community in the form of short story research with the perspective of Linda Hutcheon’s postmodernism so that it is expected to increase the quantity of practice in postmodernism studies. The methodology used in short story Robohnya Surau Kami using Linda Hutcheon's postmodernist theory is a descriptive method of analysis, by describing the facts which are then analyzed. The analysis does not merely describe but also gives sufficient understanding and explanation. Robohnya Surau Kami by A. A. Navis is a monumental work A. A. Navis containing religious elements. In his work, A. A. Navis presents inner experiences about the concept of religious life of small communities in Indonesia. This short story is an outstanding and popular work as it is consider as a rare religious literature; AA Navis does not merely tell about worship and devotion to God, but also humanitarian values in Indonesia loaded with caring and tolerance so that it is necessary to trace the facts of the story in the short story, identify the center and the periphery that triggers conflict, and the implications of its contextualization of society in the present. Keywords postmodernism, postmodern fiction, story facts, fiction elements, center and periphery, contextualization Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 28 PENDAHULUAN Istilah posmodernisme muncul pada tahun 1926 sebagai judul buku dan mulai banyak digunakan di dunia Barat pada tahun 1930–1940. Posmodernisme berfokus pada transformasi penting yang terjadi di masyarakat dan kebudayaan kontemporer Sarup, 2003 228. Menurut McHale 1991 4, posmodernisme adalah istilah yang acuannya tidak ada karena ia adalah suatu konstruksi. Meski demikian, McHale 1991 5 menekankan bahwa posmodernisme tidak melulu terjadi setelah’ modernisme, namun lebih kepada dari’ modernisme. Menurut Hutcheon 2004 1, posmodernisme membangun ideologi yang kontradiktif, tetapi tidak oposisional. I offer instead, then, a specific, if polemical, start from which to operate as a cultural activity that can be discerned in most art forms and many currents of thought today, what I want to call postmodernism is fundamentally contradictory, resolutely historical, and inescapably political. Hutcheon, 1988 4 Dalam karya sastra posmodernisme, faktor otonom menjadi hal yang diragukan. Karya posmodernisme menjunjung sifat intertekstual dalam pembentuknya, sehingga terdapat konstruksi historiografi dalam sebuah fiksi posmodern. Kontradiksi posmodernisme termanifestasi pada konsep “keberadaan masa lalu” yang bertujuan untuk membentuk karya yang kritis Hutcheon, 19884. Dalam usahanya, penulis akan mengungkapkan gagasan-gagasannya baik secara implisit maupun eksplisit. Beyley dalam Hutcheon, 1988 57 mengungkapkan bahwa siapapun yang menulis sebuah karya pasti memiliki ide yang jelas mengenai apa yang baik dan buruk dalam kehidupan. Melalui ide-ide yang diwujudkan inilah, penulis akan menunjukkan keberpihakannya terhadap dunia. Hal ini dapat diketahui dengan menelusuri kontekstualisasi antara karya dengan kondisi sosial masyarakat. Pada aplikasinya dalam bidang kesusasteraan, teori posmodernisme lebih sering digunakan untuk mengkaji karya-karya yang dianggap baru ataupun mendukung modernitas. Melalui teori posmodernisme, karya-karya tertentu ditelaah dan dipandang perspektif posmodern-nya sehingga menjadi fiksi posmodern. Namun sebagai perkembangan dari modernisme, posmodernisme juga dapat digunakan untuk mengkaji karya-karya yang telah terbit dalam kurun waktu yang lama. Salah satunya adalah cerpen berjudul Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis. Robohnya Surau Kami adalah karya monumental Navis yang terbit dalam kumpulan cerpen pada tahun 1965 dan masih dikenal hingga sekarang. Pada masa tersebut, karya sastra yang lahir cenderung menampakkan aspek-aspek posmodernisme Prihatmi, 1999, yakni menampilkan peristiwa yang seringkali berada di luar logika pada umumnya. Pada masa tersebut, Robohnya Surau Kami pun dinilai berada di luar logika umum’ sebab ia menceritakan peristiwa yang mengada-ada dan tidak nyata’. Meskipun demikian, cerpen tersebut tetap dapat diteliti aspek posmodernitas-nya sebab ia memiliki relevansi dengan kehidupan sosial masyarakat; Robohnya Surau Kami dinilai menyajikan pandangan yang memiliki pengaruh terhadap manusia sebab ia menjelaskan hal-hal yang dihindari sebagian besar umat beragama, yakni pertanyaan dan konstruksi mengenai dosa dan pahala, hari akhir dan akhirat, serta ketuhanan. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 29 Robohnya Surau Kami sebagai Fiksi Posmodern Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis menceritakan tentang seorang penjaga surau yang meradang akibat mendengar cerita dari seorang pembual tentang kejadian di akhirat kelak. Dikisahkan oleh si pembual, bahwa Tuhan lebih menyukai orang-orang yang tidak hanya fokus beribadah sepanjang hidupnya, tetapi juga menjalankan perintah-Nya untuk menyayangi sesama, melindungi keluarga, mencintai alam, bekerja, dan sebagainya. Si kakek penjaga surau yang memang menghabiskan hidupnya untuk merawat surau dan beribadah kepada Tuhan pun akhirnya bunuh diri. Dalam proses kreatifnya, Navis dikenal selalu memberikan efek getir pada cerita-ceritanya untuk membahas mengenai ironi yang ada di dunia, terutama di negeri ini. Dari cara penulisan itu, dapat diketahui apa yang menjadi maksud pengarang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh proses penulisan karya yang sangat dipengaruhi oleh keadaan yang sedang berlaku di sekitar seorang penulis. Penulis yang peka akan terangsang intuisi kebahasaannya untuk melihat dan menerjemahkan apa yang terjadi menjadi bahan olahan untuk kemudian diproses menjadi sebuah kisah yang bahkan bisa tak pernah menampakkan ide dasar penulis secara gamblang, namun harus dianalisis oleh pembaca, dengan kata lain dituliskan secara implisit. Hal ini senada dengan yang dilontarkan Teeuw 1988, bahwa sastra Indonesia lahir pada tahun 1920 dengan latar belakang sosial politik, oleh sebab itu sastra menjadi media bagi para pemuda untuk mulai menyuarakan pikirannya. Latar belakang itu tampak dari cara Navis menggunakan unsur kedaerahan dalam cerita-ceritanya. Menurut Goodman 1977, ...the abstract literary elements are to be found, not in the signications and their associations, but in the means of signifying; they are not the denotations and connotations, but the parts of speech. Jadi, elemen abstrak kesusasteraan dapat ditemukan, tidak secara signifikan dan dalam asosiasi-asosiasi tertentu, tapi memiliki makna yang menandakan; elemen abstrak tersebut bukanlah denotasi maupun konotasi, melainkan bagian dari cara berbicara. Dari sanalah sastra yang cenderung abstrak juga diminati oleh sebagian orang. Demikian juga yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Daripada menceritakan secara eksplisit kebobrokan moral serta sosial yang mengimpitnya, Navis memilih untuk meracik ceritanya dengan sederhana, khas, dan penuh makna. Ia tak mendiskreditkan pihak tertentu, tapi mampu melayangkan kritik secara tepat sasaran kepada umat manusia secara keseluruhan. Hal ini pun tak membuat cerpennya berbatas pada diskursi didaktif semata. Sebaliknya, Navis menyiratkan ironi yang bahkan dapat menjembatani pikiran siapa saja. Daripada disebut mengkritik umat beragama atau cara beragama, Navis bisa dibilang menonjolkan tuntunan hidup yang ingin disampaikan dan dihayati bersama. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa cerpen Robohnya Surau Kami juga termasuk sebagai fiksi posmodern sesuai dengan pendapat Hutcheon 1988 41 berikut. The more complex and more overt discursive contextualizing of postmodernism goes one step beyond this auto-representation and its demystifying intent, for it is fundamentally critical in its ironic relation to the past and the present. This is true of Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 30 postmodern fiction and architecture, as it is of much contemporary historical, philosophical, and literary theoretical discourse today. Menurut Hutcheon, fiksi posmodern terbebas dari representasi otomatis dan usaha-usaha deskriptif belaka. Ia secara fundamental kritis dalam relasi ironinya terhadap masa lalu dan masa depan. Dalam hal ini, Robohnya Surau Kami memiliki kecenderungan untuk mengatasi representasi otomatis tersebut dan sebaliknya, ia mengarahkan bentuk yang terlepas dari nostalgia. Hal ini dapat terlihat dari penggambaran narasi keseluruhan cerita yang dituturkan dari sudut pandang tokoh aku’ terhadap pembaca yang diwakilkan sebagai Tuan’. Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku Navis, 1965140. Pada penggalan cerpen di atas, dapat diketahui bahwa tokoh aku’ memperkenalkan segala unsur dalam ceritanya dengan gamblang. Ia mendapati diri sebagai narator yang menyadari keberadaan pembacanya dan secara tidak langsung menunjukkan urgensi isi pesan yang dibawanya. Pemilihan sudut pandang ini dijelaskan Hutcheon 198845 sebagai berikut. In its contradictions, postmodernist fiction tries to offer what Stanley Fish 1972, xiii once called a “dialectical” literary presentation, one that disturbs readers, forcing them to scrutinize their own values and beliefs, rather than pandering to or satisfying them. But as Umberto Eco has reminded us, postmodern fiction may seem more open in form, but constraint is always needed in order to feel free in Rosso 1983, 6. This kind of novel self consciously uses the trappings of what Fish calls “rhetorical” literary presentation omniscient narrators, coherent characterization, plot closure in order to point to the humanly constructed character of these trappings—their arbitrariness and conventionality. Fiksi posmodern mencoba menawarkan presentasi sastra dialektis’ yang terkesan mengganggu pembaca dan memaksa mereka untuk meneliti nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut, daripada sekadar menjadi pemuas mereka. Meskipun fiksi posmodern tampak lebih terbuka, selalu terdapat pengikat yang membuat kita menyadari pentingnya menjadi bebas. Dengan demikian fiksi posmodern secara sadar menggunakan apa yang disebut Fish sebagai presentasi sastra retoris’ narator mahatahu, karakterisasi yang koheren, penutupan alur untuk menunjukkan karakter yang dibangun secara manusiawi—baik kesewenang-wenangan dan konvensionalitas mereka. Menurut Hutcheon 198845 hal ini merupakan salah satu eksploitasi kontradiktif posmodern dan subversi dari aspek-aspek fiksi realis maupun modernis. Dari penjabaran di atas, dapat kita ketahui bahwa Robohnya Surau Kami memuat ciri fiksi posmodern. Keberadaannya bukan sebagai pemuas golongan ekstrem tertentu, sebaliknya ia memuat nilai-nilai kebersamaan dan kearifan yang umum kita kenali dalam masyarakat daerah Indonesia yang menjunjung kekerabatan. Ia juga dapat disebut sebagai posmodern sebab meninggalkan baik aspek fiksi realis maupun modernis. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 31 Hal ini cukup menarik sebab Robohnya Surau Kami selama ini lebih dikenal sebagai karya yang berlatarkan religiusitas. Dewasa ini, topik tentang karya sastra dengan nuansa keagamaan yang kental menjadi salah satu isu yang digemari khalayak luas, terutama berkenaan dengan merenggangnya ikatan toleransi antarwarga Indonesia. Secara teori, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Menurut Heryanto 2018 73, agama dapat menawarkan keteduhan bagi orang-orang yang tak mampu secara ekonomi dan politik serta tak memiliki perwakilan atau kuasa dalam meraih keadilan. Bagi orang kaya urban yang kritis terhadap status quo, agama dapat berperan sebagai titik berangkat bagi pembangkangan ketika seluruh jalur yang sah untuk politik resmi sudah ditutup. Bagi mereka yang sedang berkuasa, dikelilingi oleh kemiskinan, korupsi, dan kekerasan yang disponsori oleh negara, ketakwaan dapat membantu memulihkan kecemasan tentang status mereka, mengurangi rasa bersalah, atau menetralkan persepsi publik tentang kerakusan mereka. Lambat laun, hal ini dikenal sebagai identitas religiusitas yang tercermin dalam berbagai produk kehidupan manusia, salah satunya karya sastra. Belakangan, dengan maraknya peristiwa benturan beragama, penelitian dengan objek sastra religi menjadi kembali diminati. Terutama berkenaan dengan tujuan penciptaan karya sastra dan bagaimana pembaca mampu menerimanya. Herfanda 2008 132 menyatakan bahwa apa pun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi subversif untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran pembacanya. Hal ini menjadi salah satu kemampatan sastra religi untuk membenahi diri dan menguatkan posisinya sebagai karya sastra yang seharusnya direaksi, diproses, atau dipecahkan. Kreativitas dalam sastra religi diharapkan untuk selalu berada pada jalur yang semestinya, sebisa mungkin tidak menimbulkan kontroversi. Padahal, menurut William dalam Faruk, 2015 44, kreativitias merupakan ciri khas sastra, bahkan menyangkut keseluruhan tata kehidupan masyarakat. Setiap pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya sastra juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing Denta 2010. Oleh sebab itu, hingga kini sastra religi masih sering mengundang polemik-polemik minor dalam lingkungannya. Terutama berkenaan dengan apa yang dianggap benar dan direstui. Hasil yang diperoleh adalah kebenaran yang mempunyai nilai-nilai artistik yang dapat menambah koherensi dan kompleksitas karya tersebut Wellek dan Werren, 1990108. Sebab menurut Mangunwijaya 198212, religiusitas sendiri lebih melihat apa yang ada dalam diri seseorang dalam menjalankan kewajiban agamanya. Sementara agama, menurut Mangunwijaya 198211, menunjukkan kelembagaan kebaktian pada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas bersifat totalitas individu. Ia mengatasi lebih dari sekadar agama yang diakui secara kolektif dan memiliki keteraturan ketat. Religiusitas lebih bergerak ke tata paguyuban yang khidmat, konsentrasi diri, pasrah sumarah, dan mendengarkan sabda Ilahi dalam hati Mangunwijaya, 198212. Demi membuktikan bahwa religiusitas memiliki dimensi yang lebih luas daripada agama, Glock dan Stark dalam Djamaluddin dan Nashori, 200176, mengungkapkan lima macam dimensi religiusitas, yaitu 1 dimensi keyakinan ideologi, 2 dimensi peribadatan Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 32 atau praktik agama ritualistik, 3 dimensi pengalaman, 4 dimensi ihsan penghayatan, dan 5 dimensi pengetahuan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa karya sastra yang memuat aspek religiusitas memiliki kompleks yang sama dengan aspek-aspek lainnya. Terutama di Indonesia, yang mana memiliki kadar-kadar tertentu tentang kapan religiusitas tersebut ditampakkan dan disembunyikan. Meski demikian, sastra religi masih menjadi salah satu genre yang diminati pembaca. Banyak di antara karya sastra religi tersebut juga mengusung tema modernitas dan menjadi sastra populer seiring dengan munculnya komunitas-komunitas berbasis keagamaan yang merambah dunia kreatif sebagai media dakwah dan ekspresi diri. Hal ini disebabkan kesadaran para penggiat agama tersebut bahwa, seni populer biasanya lebih dapat diakses–seni populer adalah tentang kita dan ada di mana-mana–dan akrab, dia menarik karena dirinya sendiri dan mengungkapkan secara tidak sadar tentang budaya yang diekspresikan White, 1972. Di balik itu, masih banyak karya sastra religi yang sejak kemunculannya menjadi salah satu tonggak penanda khazanah sastra Indonesia. Karya-karya ini umumnya termasuk dalam sastra serius. Menurut Pujiharto 2010 21, karya sastra serius adalah karya yang menyajikan pengalaman kemanusiaan namun dengan tingkat kesulitan pemahaman yang lebih tinggi dibanding sastra populer karena sastra serius menggunakan fakta-fakta dan sarana-sarana cerita yang lebih rumit hingga untuk memahami temanya pun harus melewati langkah-langkah analisis yang serius pula. Sehingga dapat dipahami bahwa sastra religi tidak hanya penting bagi masyarakat pada umumnya, tetapi juga berkenaan dengan sumbangsihnya pada kesusasteraan. Pada tataran inilah, Robohnya Surau Kami menjadi penentu bahwa sastra religi tidaklah singup seperti yang diperkirakan. Sebaliknya, ia dapat dipandang dalam berbagai paradigma dan metode yang menghasilkan berbagai kesimpulan. Postmodern fiction challenges both structuralist/modernist formalism and any simple mimeticist/realist notions of referentiality. It took the modernist novel a long time to win back its artistic autonomy from the dogma of realist theories of representation; it has taken the postmodernist novel just as long to win back its historicizing and contextualizing from the dogma of modernist aestheticism. Hutchen, 1988 52 Fiksi posmodern menantang formalisme strukturalis/modernis dan gagasan mimesis/realis sederhana tentang referensialitas. Artinya, ia memiliki kecenderungan untuk mengubah apa yang selama ini dipahami sebagai bentuk baku referensi dan bahkan menggunakan bentuk yang sama sekali baru. Referensi tak lagi ditunjukkan terang-terangan dengan catatan kaki, tetapi dilesapkan dalam keseluruhan isi karya. Robohnya Surau Kami yang termasuk novel lama dapat dikatakan menggunakan kembali otonomi artistiknya dari dogma teori representasi realistis untuk menitikberatkan aspek historisasi dan kontekstualisasi. Robohnya Surau Kami, sesuai pandangan Hutcheon 1988 53, secara paradoks menggunakan dan menyalahgunakan konvensi realisme dan modernisme untuk menantang transparansi mereka dan untuk mencegah penyingkapan terhadap kontradiksi yang membuatnya menjadi fiksi posmodern sebagaimana adanya historis dan metafiksi, kontekstual dan refleksi diri, selalu menyadari statusnya sebagai wacana, dan sebagai konstruksi manusia. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 33 PEMBAHASAN FAKTA CERITA, PUSAT DAN PINGGIRAN Aspek-aspek posmodernisme dalam sebuah karya meliputi penggunaan dan penyimpangan fakta ceritanya dalam membangun keseluruhan cerita dan hubungan antara pinggiran dan pusat, antara tertindas dan penindas, serta kontekstualisasi di dalamnya. Peristiwa yang telah terjadi diceritakan ulang dan ditunjukkan sebagai sesuatu yang secara sadar disusun menjadi narasi yang terkonstruksi sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Hal ini penting sebab dalam fiksi posmodern, penggunaan konsep “keberadaan masa lalu” sama sekali tidak menyangkal eksistensi masa lalu yang riil, tetapi memusatkan perhatian pada tindak pemaksaan tatanan pada masa lalu itu dengan tidak mengodekan strategi penciptaan-makna melalui representasi Hutcheon, 2004104. Oleh sebab itu, pengarang dapat hadir melalui keberpihakannya dalam cerita untuk menyampaikan gagasan dari kelompok atau golongan yang diwakilinya. Fakta yang ada dalam karya sastra dapat menyokong keberadaan pengarang melalui suara-suara kepengarangannya, sudut pandang, narator, atau tokoh-tokoh tertentu untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang dipandangnya memiliki tingkat kebenaran atas suatu peristiwa. Sehingga dapat dipahami pelajaran penting dari posmodernisme adalah bahwa peneliti tidak diperbolehkan untuk membatasi investigasinya pada teks dan pembaca, melainkan pada proses produksi sebuah karya. Diperlukan lebih dari sekadar teks dan pembaca untuk mengaktifkan proses pemberian makna atas suatu karya agar apa yang disampaikan dalam karya tersebut mendapat pelekatan makna yang sebenar-benarnya. Fakta Cerita Fakta yang terkandung dalam fiksi posmodernisme ialah peristiwa yang dimaknai. Dalam metafiksi historiografis, proses pengubahan peristiwa menjadi fakta melalui penafsiran bukti dokumenter ditunjukkan sebagai proses pengubahan jejak-jejak masa lalu menjadi representasi historiografis Hutcheon, 200489. Dalam fiksi posmodern, terjadi gabungan unsur faktual dan unsur fiktif. Unsur faktual berupa peristiwa masa lalu, sementara unsur fiktif berupa pelaku, plot, fantasi, prophesi, serta pola dari ritme Forster dalam Kuntowijoyo, 2006176. Pendapat Forster tersebut melengkapi pandangan Hutcheon mengenai unsur-unsur pembangun metafiksi historiografi. Bukti dokumenter yang dimaksud Hutcheon berupa teks-teks lain yang telah terlebih dahulu ada dan berperan sebagai referensi, sehingga fiksi posmodernisme umumnya memuat intertekstualitas untuk menunjang cerita. Teks-teks lain yang sudah ada didukung atau didekonstruksi oleh penulis untuk mewujudkan gagasan yang ingin disampaikannya. Miola 201413 mengidentifikasikan intertekstualitas menjadi tiga kategori, yakni; kategori pertama, di mana teks sebelumnya muncul secara verbal/tersurat; kategori kedua, di mana pembaca akan mengenali adanya teks lain dalam teks tersebut melalui kekayaan individualnya; dan kategori ketiga, di mana pemberian teks sebelumnya bersifat argumentatif memuat referensi berlapis sehingga dapat diperdebatkan. Kategori kedua dan ketiga mengindikasikan teks lain yang muncul secara tersirat. Dalam analisis ini, kajian meliputi tipe teks paralogues, yakni teks yang menjelaskan tokoh, sosial, atau makna politis dalam teks lainnya. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 34 Today, critics can adduce any contemporary text in conjunction with another, without bothering at all about verbal echo, or even imprecise lines of filiation. In some ways the discussion of paralogues departs from past critical practices, bringing new freedom; but, of course, new perils threaten; rampant and irresponsible association, facile cultural generalization, and anecdotal, impressionistic historicizing. Miola, 201423 Paralogues muncul secara implisit sehingga penelusuran pembaca tidak akan berhenti pada apa yang disampaikan penulis semata. Paralogues membawakan kebebasan bagi setiap penulis untuk mengekspresikan diri tetapi juga memberikan kaitan historis akan setiap karya. Paralogues disebut pula interdiscursivity, yang berarti hubungan antar teks, baik lisan maupun tulisan, berkenaan dengan semua wacana yang terekam dalam budaya yang memiliki kemiripan dan secara ideologi terorganisir Miola, 201423. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis, unsur interdiskursivitas sarat tampak pada bagaimana pengarang mengungkapkan kepercayaan spiritualnya. Hal ini seperti tampak pada penggalan cerita berikut. “Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang.” Navis, 1965 143 Sebagaimana yang diceritakan oleh tokoh Ajo Sidi, A. A. Navis menyitir kutipan-kutipan kepercayaan manusia yang beragama Islam tentang suatu peristiwa yang dipercaya akan terjadi di akhirat. Hal ini dapat terjadi sebab umat Islam diwajibkan mengimani apa yang disebut hari akhir dan hari kebangkitan. Seperti yang tertera pada Surah Az-Zumar ayat 68 yang berbunyi, “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian dititup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu putusannya masing-masing.” Meskipun secara akal pikiran, hal ini tidaklah dapat dijadikan landasan yang logis, tetapi dalam metafiksi historiografi, hal ini dapat diterima sebab memuat budaya baik lisan maupun tulisan yang bersifat spiritual dan terorganisir secara ideologi. Dalam Robohnya Surau Kami, unsur ini dominan sebab kerangka yang dibangun A. A. Navis adalah kemasyarakatan dalam umat Islam yang semakin lama semakin memudar. Jika dalam metafiksi historiografis, fakta adalah peristiwa yang dimaknai, maka dalam Robohnya Surau Kami, A. A. Navis menarik fakta yang ada dalam isu-isu sosial yang berusaha dikemukakannya dan menjelaskannya dengan cara yang terbilang antimainstream, yakni melalu penghakiman pada hari kebangkitan. Metode ini umumnya banyak diterapkan dalam karya sastra religi yang berusaha memberikan kompensasi terhadap segala sesuatu yang dikerjakan manusia melalui janji-janji dan balasan yang setimpal di kehidupan yang sesungguhnya’. Meski demikian, lewat Robohnya Surau Kami, A. A. Navis memberikan twist yang tidak terduga dengan memaknai kriteria Tuhan sebagai hal yang tidak biasa. Alih-alih dengan memberikan kenikmatan dan kebahagiaan yang diwujudkan dalam bentuk surga kepada orang-orang yang terus-menerus dan selalu beribadah, Tuhan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dengan memberikan pertimbangan bagi Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 35 mereka yang beribadah sesuai dengan yang dikehendakinya. Dalam Robohnya Surau Kami, hal ini dijelaskan Navis melalui “dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya” Navis, 1965143. “Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasihMu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.” “Lain?” Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu. Navis, 1965144 Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga. Navis, 1965145 Kedua peristiwa yang diceritakan Navis melalui tokoh Ajo Sidi di atas sesuai dengan bagaimana Alquran mendeskripsikan surga dan neraka serta para penghuninya. Hal ini tampak melalui Surah Albaqarah ayat 81 yang berbunyi, “barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” dan Surah Attaubah ayat 72 yang berbunyi, “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin, lelaki dan perempuan, akan mendapat surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan mendapat tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” Oleh sebab itu, Haji Saleh diceritakan ketakutan ketika isyarat bahwa dirinya akan masuk neraka diperjelas dan surga terasa menjauh. Karya sastra posmodern mengangkat persoalan bagaimana intertekstualitas historis, dokumen atau jejaknya, disatukan ke dalam konteks yang diakui sebagai rekaan atau fiktif, sementara masih mempertahankan nilai dokumenter historisnya Hutcheon, 2004 129. Meskipun sebenarnya Alquran bukanlah bukti historis dalam dunia nyata, terutama bagi yang tidak mengimaninya, namun narasi tentang kiamat sebagai akhir dunia dipercaya sebagai fakta yang akan terjadi sehingga memiliki nilai historis, bahkan bagi seluruh umat beragama di dunia. Pusat dan Pinggiran Seperti halnya teori sastra lainnya, posmodernisme mempertanyakan humanisme liberal, yakni otonomi, kepentingan, kepastian, otoritas, kesatuan, Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 36 kemutlakan, sistem, pusat, kesinambungan, hirarki, homogenitas, keunikan, keaslian Hutcheon, 198857. Bagi Hutcheon, karya sastra pada umumnya memiliki ketimpangan dan gesekan antar tokoh-tokohnya sehingga wajar jika keberadaannya cenderung mengguncangkan keaslian dan pusat. Dalam usaha-usaha tersebut, terdapat pihak yang berperan sebagai dominan dan ada pula yang berperan sebagai minoritas. Dalam posmodernisme, hal ini disebut sebagai pusat dan pinggiran. The decentering of our categories of thought always relies on the centers in contests for its very definition and often its verbal form. The adjectives may vary hybrid, heterogeneous, discontinous, antitotalizing, uncertain. Hutcheon, 198859 Dalam bentuk lain, pinggiran dapat berupa persilangan, keberagaman, keterputusan, antitotalitas, dan ketidakpastian. Menurut Owens dalam Hutcheon, 198859, ketika karya sastra posmodern memenuhi perannya, ia tak lagi menyatakan otonomi, swasembada, ataupun kejelasannya, melainkan untuk menarasikan kemungkinan, ketidakcukupan, dan ketidakjelasan. Dalam hal ini, pusat akan dieksploitasi dan dalam batas-batas tertentu, ditumbangkan. Seperti yang diungkapkan Derrida dalam Hutcheon, 198860 bahwa bukan berarti pusat ditiadakan, karena dalam hakikatnya sendiri manusia tidak akan bisa hidup tanpa pusat, sebab pusat adalah fungsi, bukan suatu bentuk maupun realita. Tanpa keberadaan pusat, pinggiran tak akan ada maupun diakui. Dalam Robohnya Surau Kami, pinggiran ditunjukkan oleh tokoh Kakek Penjaga Surau. Hal ini ditunjukkan melalui penggambaran berikut. Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Navis, 1965 140 Dalam hidupnya, Kakek digambarkan sebagai orang yang menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Ia sama sekali tak mencari keuntungan, melainkan sibuk beribadah. Kakek bahkan tak pernah memikirkan kehidupan duniawinya. Sebaliknya, ia taat menegakkan perintah Allah dan berusaha menjauhi segala larangan dan perbuatan dosa. Demikian tokoh Kakek begitu dihormati dan dicintai oleh orang-orang kampung. Tak heran apabila tokoh Kakek digambarkan Navis sebagai simbol surau itu sendiri. Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Navis, 1965140 Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 37 Judul Robohnya Surau Kami, secara tidak langsung menunjukkan bagaimana sebenarnya konstruksi pikiran Kakek begitu pula dengan manusia pada umumnya dan juga sebuah surau begitu rapuh dan dapat digerogoti oleh suatu ide yang baru. Dalam hal ini, Navis mengungkapkan tentang bagaimana beribadah’ seharusnya dilakukan dan untuk itu, tentu saja kita perlu menghancurkan konstruksi surau’ yang tradisional dan digambarkan oleh pemikiran Kakek. Bagaimanapun juga, lama-kelamaan tradisi spiritual kita pun akan berubah. Hal ini menunjukkan bahwa meski kehidupannya selalu tegak lurus dengan Yang Maha Kuasa, nampaknya tokoh Kakek menyimpan rasa getir yang disimpannya sendiri. Sekian tahun hidup seorang diri dan beribadah, ia akhirnya menumpahkan kekesalannya begitu seseorang bernama Ajo Sidi menceritakan kisah yang dianggapnya mengusik hidupnya. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Navis, 1965141 Tokoh Ajo Sidi dalam Robohnya Surau Kami mencerminkan pusat. Melalui cerita-ceritanya, ia menerapkan kontrol perilaku dalam kehidupan bermasyarakat di kampung tempatnya tinggal. Meski dikenal sebagai pembual, Ajo Sidi mampu menarik orang-orang untuk benar-benar terlarut dalam ceritanya. Hal ini contohnya ditampakkan pada bagaimana ia bisa membuat Kakek begitu bersedih hati melalui sebuah cerita saja. Ajo Sidi tak pernah mengutuk Kakek secara langsung, namun melalui ceritanya ia memberikan pandangan dan keberpihakan yang jelas terhadap bagaimana Kakek menjalani hidup. Dalam hal ini, Ajo Sidi menggunakan ceritanya sebagai sindiran bagi perilaku Kakek yang dianggapnya terlalu lurus dan hanya memprioritaskan Tuhan. Berbeda dengan Kakek yang dipenuhi rasa sentimen, Ajo Sidi bersikap pragmatis. Hal ini tampak pada penggalan cerpen berikut. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?” “Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?” “Kerja.” “Kerja?” tanyaku mengulangi hampa. “Ya, dia pergi kerja.” Navis, 1965149–150 Tokoh Ajo Sidi seolah tidak pernah benar-benar memedulikan efek yang ditimbulkan oleh perilakunya sehingga menganggap meninggalnya Kakek merupakan hal yang biasa. Ia tak mengacuhkan fakta bahwa Kakek sangat jengkel Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 38 terhadapnya beberapa hari belakangan dan tak sedikitpun meminta maaf terhadap apa yang diceritakannya itu. Ia merupakan simbolisasi dinamika jaman yang terus berubah, tak peduli dengan apa yang digerusnya selama itu memuat tujuan akhir yang ingin dicapai. Hal ini diceritakan oleh tokoh aku sebagai berikut. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya. Navis, 1965140–141 Dalam penggalan cerpen di atas, tokoh aku menunjukkan akibat dari keahlian Ajo Sidi bersilat lidah tanpa mempertimbangkan lebih jauh efek yang akan ditimbulkannya bagi kehidupan seorang garin maupun keberlangsungan umat muslim. Meski demikian, tokoh aku pun diam-diam menyetujui pendapat Ajo Sidi. Meski digambarkan sebagai tokoh netral yang mampu menjawab dan melintasi permasalahan sudut pandang, tokoh aku menceritakan bagiamana sikap Kakek yang kaku terutama dalam menanggapi segala sesuatu berakhir dengan kerugian Kakek sendiri. Sebaliknya, ia bersimpati kepada Kakek karena baginya, lebih mudah menghadirkan penghiburan daripada mengusik prinsip hidup Kakek yang selama ini bersahaja. Tokoh aku berpendapat bahwa apabila Ajo Sidi tidak membualkan cerita tersebut, Kakek tetap baik-baik saja. Robohnya Surau Kami memuat cerita berlapis. Pangkal segala permasalahan dalam cerpen ini ialah cerita bualan Ajo Sidi tentang bagaimana haji yang taat beribadah bernama Haji Saleh dihisab di akhirat kelak. Cerita inilah yang membuat Kakek gusar hingga akhirnya bunuh diri. Cerita ini juga memiliki pusat dan pinggirannya sendiri. Dalam hal ini, pusat digambarkan oleh Tuhan dan malaikat, sementara pinggiran diwujudkan dalam bentuk Haji Saleh dan kawan-kawannya sesama orang yang rajin beribadah. Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga. “Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian, “bukankah kita disuruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.” Navis, 1965145 Pada penggalan cerpen Robohnya Surau Kami di atas, Haji Saleh mengumpulkan orang-orang yang dikenalnya rajin beribadah dan dimasukkan ke neraka. Ia mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Dengan teguh ia mempercayai keyakinannya, bahwa segala amal perbuatannya takkan berdusta dan sebenarnya ia berhak berada di surga sebab tak sedikitpun ia berhenti memuja Tuhan di masa hidupnya. Maka hal ini membuatnya pongah dan sombong. Daripada penghakiman Tuhan, ia lebih mempercayai perhitungannya sendiri yang dilandasi keserakahan serta rasa pamrih. Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya “O, Tuhan Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 39 kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.” Navis, 1965146–147 Meski merasa bahwa dirinya adalah korban dari kesalahan Tuhan, Haji Saleh tetap menggunakan metode protes yang santun dan terhormat. Ia mengakui kebesaran Tuhan dan beribadah kepada Tuhan sepenuh hati selama masa hidupnya. Penggalan cerpen di atas menunjukkan sikap inferior Haji Saleh. Kendatipun ia merasa bahwa dirinya selayaknya masuk surga sebab ia tak kurang-kurang dalam beribadah, ia tetap merendah dan menuntut janji Tuhan dengan cara yang dianggapnya diplomatis. Hal ini mencerminkan pinggiran, yang sebagaimanapun kuatnya ia berusaha, pusat yang akan menentukan segalanya. Pusat dalam cerita ini digambarkan sebagai pusaran kosmis yang bagaimanapun memiliki perbedaan pandangan dengan pinggiran. Sebaliknya, sekuat apapun pinggiran berusaha, upayanya akhirnya tidak berpengaruh dan dijatuhkan oleh pusat. “Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!” Navis, 1965 148 “Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh. “Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.” Navis, 1965149 Sementara pada penggalan cerpen Robohnya Surau Kami di atas, Tuhan berkuasa penuh sebagai pusat. Meskipun ia tetap mewajibkan umat-Nya untuk beribadah, nyatanya ibadah yang dimaksudkannya adalah bagaimana manusia selaras dalam memelihara keluarga, lingkungan, masyarakat, dan sumber daya di sekitarnya. Daripada menunjukkan keinginan untuk dihormati dan dipuja terus-menerus, Tuhan digambarkan mampu menilai dengan seadil-adilnya terutama berkenaan dengan kelemahan yang luput dari sorot mata manusia. Hal ini tak urung Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 40 juga membuat gagasan pusat dipertanyakan. Menurut Hutcheon 1988 58, ini adalah salah satu ciri posmodernisme. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, Navis mempertanyakan otonomi, kepastian, otoritas, dan lain-lain yang selama ini menjadi perspektif ideal. Bentuk-bentuk pertanyaan itu terwujud dalam pinggiran/minoritas. Jika selama ini penyerahan penuh dalam bentuk ibadah yang terus menerus kepada Tuhan dianggap sebagai penebus surga di hari akhir, Navis menantang wacana ini dengan memunculkan unsur pusat dan unsur pinggiran. Sebaliknya, Navis memilih menyuarakan pengarang melalui tokoh aku agar mampu menunjukkan kelebihan dan kelemahan masing-masing perspektif akan pusat dan pinggiran tersebut. Pada akhirnya, bagaimanapun juga usaha manusia untuk menuju ke surga, Tuhan adalah kekuatan absolut yang mampu menyelami hati manusia secara lebih dalam. Hal ini senada dengan salah satu prinsip posmodernisme, yakni pengarang tidak menggerakkan pinggiran untuk menjadi pusat Hutcheon, 198869. Pinggiran hanya dapat mempertanyakan maupun mengkritik pusat. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, unsur-unsur pinggiran muncul sebagai pihak yang mempertanyakan pusat. Kakek yang seumur hidupnya menjadi garin dan selalu berdoa kepada Tuhan sama dengan keberadaan Haji Saleh dan kawan-kawannya, sementara Ajo Sidi yang akhirnya mengubah pandangan Kakek itu sama dengan Tuhan yang menerapkan kontrol dan kuasa penuh terhadap segala sesuatu yang terjadi. KONTEKSTUALISASI ROBOHNYA SURAU KAMI CERMIN UMAT BERAGAMA, ARABISASI, DAN NILAI-NILAI SOSIAL SEORANG MUSLIM Kontekstualisasi diperlukan dalam teori posmodernisme untuk memenuhi kewajibannya sebagai salah satu penunjuk dengan relevansi masa kini. Hal-hal dinarasikan sesuai dengan kehendak penulis dengan tujuan untuk memuat ideologi yang ingin disampaikannya. Ideologi ini dapat berarti tujuan, maksud, atau cara tertentu yang dapat dipahami melalui kontekstualisasi. Menurut Hutcheon 198875, dalam metafiksi historiografi, diperlukan pengondisian karya ke muatan tekstualnya itu sendiri dan pengondisian dengan konteks historis, sosial, dan politik sebagaimana intertekstualitas yang lebih luas. Hubungan dengan konteks historis, sosial, dan politik ini diimplikasikan oleh sebagaimana muatan tekstual tersebut terwujud dan dimaksudkan. Kontekstualisasi membuat fiksi posmodern terhindar dari tujuan nostalgia dan menjadi sebuah karya sastra yang kritis serta bermakna. Sebab dalam ranah teoretis, narasi disadari sebagai struktur buatan manusia, bukan sebagai bentuk yang muncul dengan sendirinya. Baik itu representasi historis atau fiksional, bentuk narasi awal, tengah, dan akhir yang umum menyiratkan proses penstrukturan yang menciptakan makna dan sekaligus tatanan Hutcheon, 2004 97. Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis memuat gagasan tentang sosial kemasyarakatan sebagai salah satu aspek spiritual dalam diri manusia yang dipertanyakan dalam ranah agama. Dari konteks historisnya, A. A. Navis Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 41 mencerminkan kehidupan rakyat pada masa terbit karya yang dapat direlevansikan dengan masa sekarang. Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Navis, 1965 140 Pada masa itu, sulitnya perekonomian Indonesia bahkan tampak pada karya-karya sastranya. Indonesia di tahun 1950-an menjadi cermin indikasi negara berkembang pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil dan tidak meratanya sistem pembangunan sehingga Jakarta sebagai ibukota menarik banyak minat pencari nafkah. Melalui penggalan cerpen Robohnya Surau Kami di Atas, Navis menggambarkan kesenjangan ini dengan menceritakan kondisi kampungnya. Ia menceritakan sosok Kakek yang dapat kita temui sehari-hari dalam kondisi serba kekurangan. Meski demikian, Kakek tak pernah ingin mengejar kesuksesan duniawi, dan sebaliknya ia hidup menyatu dengan surau hingga begitu ia meninggal, surau itu tampak kehilangan pilar penyokong. Pandangan Navis terefleksikan pada tokoh Kakek, di mana surau memegang peranan penting di kampung-kampung kecil yang hidup seadanya. Surau berperan sebagai simbol iman, simbol magis, bahkan simbol pemenuhan fungsi yang dapat beragam sesuai dengan kultur dan ketersediaan sumber daya. Melalui Robohnya Surau Kami, Navis mengungkapkan kegelisahannya tentang bagaimana akhirnya surau-surau yang dulunya demikian terhormat itu akhirnya roboh atau hilang. Ia tak lagi dimaknai sebagai entitas yang suci dan digunakan sesuai fungsi dasarnya, melainkan akhirnya berakhir sebagai onggokan bangunan yang tak bertuan. Kegelisahan Navis ini bukan tidak beralasan. Di tahun-tahun awal kemerdekaan, gairah politik Indonesia masih berkobar untuk menentukan haluannya. Partai-partai politik yang muncul mati-matian membawa ideologinya masing-masing untuk disebarluaskan di Indonesia hingga tak terhitung berapa ujaran kebencian yang muncul akan suatu golongan. Bagi Navis, sikap ini menunjukkan degradasi manusia, terutama mereka yang mengaku beragama Islam. Sebagai tahun pemilu, 1955 memuat rekam jejak bagaimana politik berhasil menyusupi sendi-sendi masyarakat, bahkan aspek budaya dan agama. Meski tidak mengutarakannya secara eksplisit, Navis berpendapat bahwa hilangnya peran surau yang mengayomi masyarakat dalam makna simbolik itu merupakan akumulasi dari segala bentuk perbuatan manusia yang mulai mengacuhkan sesama dan Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 42 memperjuangkan wacana masing-masing. Pada masa ini, segala sesuatu dipandang sebagai ciri fungsionalitas semata untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini relevan sebab di masa sekarang, Robohnya Surau Kami masih dapat dibaca dan disadari kebenarannya. Ia tidak membuai pembaca pada tujuan nostalgia, melainkan memberikan pemaknaan yang baru sesuai dengan konteks yang tengah terjadi. 2019 sebagaimana tahun pemilu pun dipenuhi dengan ujaran kebencian antargolongan. Surau-surau telah tergantikan masjid-masjid megah yang kekurangan jamaah sehingga keberadaan pusat ritual agama hanya dijalankan secara fungsinya daripada benar-benar menjadi nafas masyarakat di sekitarnya. Meski demikian, hal ini bukan berarti menunjukkan penurunan umat beragama di Indonesia. Sebaliknya, dilansir dari lama berita BBC, Indonesia merupakan negara yang rakyatnya paling mendukung pentingnya agama. Hal ini didukung riset dari Varkey Foundation, sebuah lembaga yang berfokus pada peningkatan standar pendidikan untuk anak-anak terutama dari keluarga miskin, menyatakan bahwa 93 persen warga Indonesia yang berusia 17–23 tahun menganggap agama adalah faktor penting kehidupan yang menentukan kualitas dan kebahagiaan hidup mereka. Pada era sekarang, agama selain berperan sebagai tuntunan hidup, juga dapat menjadi gaya hidup yang menginspirasi banyak orang terutama berkat peran media sosial. Sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah maupun pemuka umat beragama utuk menangkal penyebaran radikalisme dan fanatisme sebagai bentuk penyimpangan kegiatan beragama. Secara lebih lanjut, radikalisme dan fanatisme agama menyebabkan kesenjangan antar umat beragama di Indonesia, terutama jika didukung premis-premis yang dekat dengan kehidupan individu seperti corong ideologi lain yang dianggap sesat, ketimpangan ekonomi, dan gagalnya keadilan sosial. Bahkan, menurut jurnalis Pedersen 2016 390, upaya-upaya yang terkandung dalam peraturan pemerintah dengan tujuan untuk mengurangi kekerasan dan mengukuhkan agama dengan damai tidak berhasil. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pesan yang ingin disampaikan Navis tidak berbatas pada umat Islam semata, tetapi sesuai konteksnya dengan hubungan umat beragama sebagai sesama manusia. Melalui Robohnya Surau Kami, A. A. Navis ingin kembali mengingatkan akan nilai kehidupan manusia yang seyogyanya saling menjaga, saling melindungi, dan saling mengayomi satu sama lain laiknya peran surau pada masa itu. “Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahuwataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Artikel Sattwika Duhita berjudul “Alasan Generasi Z Indonesia Paling Fanatik Beragama Dibanding Negara Lain” yang dimuat dalam Vice Indonesia 30 Mei 2018 Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 43 Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk." Navis, 1965142–143 Nilai yang ingin disampaikan Navis tersebut tampak eksplisit pada penggalan cerpen di atas. Melalui tokoh Kakek, Navis memberikan ruang bagi orang-orang yang mengagungkan agama dengan cara yang dianggapnya kurang benar’. Bagi orang-orang itu, kehidupan yang diberikan Yang Maha Kuasa seyogyanya dikembalikan dengan cara mengabdi sepenuh hati selalu memuji-muji Tuhan sepanjang waktu tanpa mengurus kepentingan duniawi. Jika ditulusuri lebih lanjut, apa yang diungkapkan tokoh Kakek di atas sama dengan rasa pamrih. Banyak orang beragama, yang dicerminkan melalui tokoh Kakek, rajin berdoa dan memuja Tuhan karena berharap akan masuk surga. Orang-orang seperti ini menghayati betul segala tata cara beribadah kepada Tuhan, seperti mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Pada masa sekarang, ketaatan sedemikian rupa perlu diiringi dengan kebijakan berperilaku. Pada penggalan cerpen di atas, Kakek berkata bahwa ia mengekspresikan segala perasaannya sebisa mungkin dalam bahasa Arab. Meski frasa-frasa tersebut lazim diucapkan umat muslim sehari-hari, namun kecenderungan Kakek dengan menganggap bahwa hal tersebut merupakan kewajiban adalah salah satu dari bentuk arabisasi. Arabisasi merupakan pertumbuhan budaya Arab pada populasi non-Arab, dalam hal ini umat Islam sebagai pemeluk agama yang teks-teks rujukannya mayoritas menggunakan bahasa Arab. Arab sebagai tradisi dengan Islam sebagai ajaran agama adalah dua hal yang berbeda. Sebagai sebuah bangsa, tradisi Arab tentu dipengaruhi oleh manusia, lingkungan hidup, dan kulturnya yang berbeda dari Indonesia. Berdasarkan landasan etnografi tersebut, Navis menganjurkan kita untuk bisa memahami perbedaan ini dan bijak dalam menyikapi masuknya budaya-budaya luar di Indonesia. “Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!" Navis, 1965148 Pandangan Navis tampak secara eksplisit pada representasi dirinya dalam tokoh Tuhan yang dapat dilihat pada penggalan cerpen di atas. Bagi Navis, kegigihan manusia untuk berdoa sepanjang waktu tidak ada gunanya apabila tidak peduli terhadap lingkungan dan sesama. Hal ini bukan semata-mata murni Artikel Dedik Priyanto berjudul “Salah Kaprah Arabisasi Islam Indonesia” di laman pada 7 Januari 2018 Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 44 pandangan Navis, melainkan juga telah dianjurkan oleh Islam dengan dalil hablum minallah wa hablum minannas yang berarti menjaga hubungan dengan Allah dan menjaga hubungan dengan sesama manusia. Sejatinya, tingkat keimanan manusia tidak semata diukur dari kuantitas ibadah berupa doa dan puji-pujian semata, tetapi juga ibadah sebagai bentuk bakti diri terhadap lingkungan dan sesamanya. Yang tak dapat dihindarkan dalam setiap penelitian fiksi posmodern adalah bagaimana menemukan hubungan dengan konteks yang signifikan Hutcheon, 1988 82. Menurut van Dijk dalam Hutcheon, 198882, teks-teks posmodern mengarahkan pembaca untuk mempertimbangkan wacana atau bahasa yang digunakan. Di dalamnya, wacana dikontekstualisasikan sebagai modus interaksi dalam situasi sosial budaya yang sangat kompleks Meidiana, 201618. Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis memberikan perspektif yang berbeda dari aspek intra agama itu sendiri, yang di dalamnya tidak hanya diatur tata cara beribadah melalui doa, tetapi juga menganjurkan manusia untuk menyayangi sesama dan merawat lingkungannya. Pada masa sekarang, maksud yang ditujukan oleh A. A. Navis cukup beragam dalam berbagai lini kehidupan. Baru-baru ini kita mendapati fenomena Kementerian Agama RI yang dilanda badai korupsi dalam bentuk penyelewengan dana pengadaan kitab suci, penolakan terhadap budaya sendiri dan digantikan oleh gaya hidup kearab-araban, maupun sentimen antarumat beragama yang menghasilkan bentrok maupun kericuhan di berbagai daerah. Meski tidak secara langsung menyindir dan menentang wacana-wacana ini, media karya sastra yang digunakan Navis dapat memuat identifikasi situasi masyarakat sosial, politik, budaya, dll ketika karya tersebut diproduksi serta kesinambungan dan relevansinya dengan masa karya tersebut dipahami/dibaca, yakni masa kini. Hal ini senada dengan pendapat Hutcheon 1988 80 yang menyatakan bahwa fiksi posmodern tidak membatasi investigasi pada pembaca dan teks semata, tetapi juga proses produksi karya tersebut. Dalam proses produksi tersebut, motif dan tujuan penulis akan memperkuat relevansi karya. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, misalnya, A. A. Navis secara kontinu mempresentasikan gagasannya tentang ketimpangan akhlak orang-orang yang mengaku beragama, terutama muslim. Berkenaan dengan hal tersebut, Hutcheon 1988 75 berpendapat sebagai berikut. The self-conscious theorizing and historicizing of theory by writers such as Edward Said, Terry Eagleton, Teresa de Lauretis, Frank Lentricchia, and, of course, Michel Foucault, have been working in much the same manner as have contemporary art forms such as historiographic metafiction both have foregrounded the need to break out of the still prevailing paradigms—formalist and humanist—and to―situate both art and theory in two important contexts. They must be situated, first, within the enunciative act itself, and second, within the broader historical, social, and political as well as intertextual context implied by that act and in which both theory and practice take root. Kecenderungan yang dilakukan oleh penulis-penulis besar lainnya dalam penulisan metafiksi historiografis ialah memosisikan karya maupun teori dalam dua konteks penting pengondisian karya dalam tindak aplikasinya dan pengondisian Tulisan Zulman berjudul “Hablum Minallah wa Hablum Minannas” dalam https//bdkpadang/ Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 45 karya dengan konteks historis, sosial, dan politis yang diimplikasikan dalam karya tersebut. Dengan demikian, fiksi posmodern selain menitikberatkan pada substansinya sebagai karya sastra, juga memiliki keterkaitan yang erat dengan situasi yang lebih luas. Dalam hal ini, cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis mampu memosisikan karya dengan kondisi saat ini. SIMPULAN Analisis ini menyimpulkan bahwa Robohnya Surau Kami adalah sastra religi yang dapat dikaji dari perspektif posmodern. Kajian itu menunjukkan bahwa Robohnya Surau Kami adalah termasuk fiksi posmodern. Ia tidak menunjukkan representasi otomatis maupun sebatas usaha-usaha deskriptif saja, namun juga kritis dalam relasi ironinya terhadap masa lalu maupun masa depan. Hal ini ditunjukkan melalui pemilihan sudut pandang, struktur kebakuan referensi, dan kemampuannya untuk tidak terikat pada ruang temporal. Sebagai fiksi posmodern, Robohnya Surau Kami memuat unsur-unsur berupa fakta cerita, pusat dan pinggiran, serta kontekstualisasi. Fakta cerita Robohnya Surau Kami memuat interdiskursivitas dengan kajian-kajian keagamaan, terutama Alquran pada ayat-ayat tentang hari akhir, surga, dan neraka. Pusat dalam cerpen Robohnya Surau Kami direpresentasikan oleh tokoh Ajo Sidi dan Tuhan. Tokoh aku yang berperan sebagai narator pun sedikit banyak menunjukkan persetujuannya terhadap pandangan tokoh-tokoh pusat tersebut. Sementara pinggiran dalam cerpen ini ditunjukkan oleh tokoh Kakek dan Haji Saleh. Keberadaan tokoh pinggiran adalah sebagai unsur yang mempertanyakan pusat; baik perilaku, kebijakan, bahkan eksistensinya. Namun tetap tidak bisa menggerakkan pusat. Kontekstualisasi cerpen Robohnya Surau Kami menghasilkan relevansi dengan tiga isu pada masa kini, yakni sebagai cermin situasi dan kondisi umat beragama yang dipenuhi kesenjangan akibat berbagai faktor kehidupan, maraknya arabisasi yang bahkan mampu menggerus identitas kenusantaraan, dan meneguhkan kembali nilai-nilai yang selayaknya dimiliki oleh seorang muslim dengan tidak meninggalkan ibadah maupun sosialnya–sebaliknya, merawat kehidupan sosial pun termasuk dalam ibadah–. Dengan demikian dapat dipahami bahwa menelaah Robohnya Surau Kami dengan teori posmodernisme menunjukkan bahwa pelajaran penting dari posmodernisme adalah perlunya penelitian yang lebih dari sekadar teks dan pembaca untuk mengaktifkan proses pemberian makna atas suatu karya agar apa yang disampaikan dalam karya tersebut mendapat pelekatan makna yang sebenar-benarnya. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 46 DAFTAR PUSTAKA Faruk. 2015. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Goodman, Paul. 1977. Creator Spirit Come! The Literary Essay of Paul Goodman. New York Dutton. Herfanda, Ahmadun Yosi. 2008. Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya. Dalam Anwar Efendi Ed.. 2008. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Hlm. 132. Yogyakarta Tiara Wacana. Heryanto, Ariel. 2018. Identitas dan Kenikmatan. Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia. Hutcheon, Linda. 1988. A Poetics of Posmodernism. London Routledge. -. 2004. Politik Posmodernisme Linda Hutcheon. Terjemahan oleh Apri Danarto dari Politics of Posmodernism 1989. Yogyakarta Jendela. Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta Tiara Wacana. Mangunwijaya, Y. B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta Sinar Harapan. McHale, Brian. 1991. Postmodernist Fiction. London Routledge. Miola, Robert S. 2004. “Seven Types of Intertextuality”. Dalam Michele Marrapodi Ed.. 2004. Shakespeare, Italy, and Intertextuality. Hlm. 13–25. New York Manchester University Press. Pedersen, Lene. 2016. “Religious Pluralism in Indonesia”. Dalam The Asia Pacific Journal of Anthropology Volume 17 387–398. 2016. Prihatmi, Th. dan Sr. Rahayu. 1999. “Gerakan yang Merongrong Tradisi Realisme Makna dan Fungsinya”. Pidato ini disampaikan pada acara pengukuhan jabatan Guru Besar dalam ilmu kesusasteraan Indonesia Modern di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Semarang Tidak Diterbitkan. Pujiharto. 2010. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta Elmatera. Sarup, M. 2003. Poststrukturalisme dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan oleh Medhy Aginta Hidayat dari An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism. Yogyakarta Jendela. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan oleh Melanie Budianta dari Theory of Literature. Jakarta Gramedia. White, Edward. 1972. The Pop Culture Tradition Readings with Analysis for Writing. New York Norton and Company, Inc. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 47 Daftar Laman Duhita, Sattwika. 2018. Alasan Generasi Z Indonesia Paling Fanatik Beragama Dibanding NegaraLain. Diakses pada 13 Juni 2019. Priyanto, Dedik. 2018. Salah Kaprah Arabisasi Islam Indonesia. Diakses pada 13 Juni 2019. Zulman. Hablum Minallah wa Hablum Minannas. https//bdkpadang/ Diakses pada 28 Mei 2019. ... Selain penelitian intertekstual sebagaimana tersebut di atas, beberapa penelitian posmodernisme terhadap karya sastra Indonesia, antara lain, dilakukan oleh Faisal 2015, Fitriana 2017, Nurhidayah dan Setiawan 2019, Pujiharto 2005, Satriani 2016, Syafruddin 2010, Prihantono 2018, Fitria 2015, Supriyadi 2016, Ilham 2018, Ekasiswanto 2020, dan Humaidi 2015. ...This study aims to discover the intertextuality of the poem "Kampung" by Subagio Sastrowardojo and the short story "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" by Seno Gumira Ajidarma. The problem discussed is the realization of the short story text of "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" as a postmodernist work seen in its aesthetic tool. The theoretical framework applied in this paper is intertextuality and postmodernism, while the method used is a qualitative method with a hermeneutic approach. The result of this study shows that "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" in fact substantially confirms the hypnogram, the problem of the individual conflict with the social environment. However, in a postmodernist style "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" demonstrates resistance to the former aesthetics or its hypogram and utilizes intertextuality by means of pastiche, kitsch, schizophrenia, and parody to express the poetic. In addition, the short story has also shifted the perspective differently than its hypogram by displaying the female protagonist as a victim of gender bias thus, it has a feminist atmosphere, while the hypogram represents lyrical characters identical to men. The last point is appropriate with the postmodernist obsession to voice the minorities and oppressed, including those who are ini bertujuan mengungkap intertekstualitas sajak “Kampung” karya Subagio Sastrowardojo dan cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumira Ajidarma. Masalah yang dibahas ialah bagaimana cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” sebagai cerpen posmodernis merealisasikan intertekstualitas sebagai puitika/sarana estetika posmodernis? Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori intertekstualitas dan posmodernisme. Metode yang digunakan ialah metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutik. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, dari sisi substansi mengukuhkan hipogramnya, yakni masalah konflik individu dengan lingkungan sosialnya. Namun, sebagai cerpen posmodernis, “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” melakukan “perlawanan” terhadap estetika hipogramnya dan memanfaatkan intertekstualitas dengan sarana pastiche, kitsch, skizofrenia, dan parodi untuk mewujudkan puitikanya. Selain itu, cerpen tersebut juga telah melakukan pergeseran perspektif terhadap hipogramnya dengan menampilkan protagonis perempuan sebagai seorang korban bias gender sehingga cerpen ini beratmosfer feminis, sementara hipogramnya merepresentasikan tokoh lirik yang identik dengan laki-laki. Hal terakhir ini sejalan dengan obsesi kaum posmodernis untuk menyuarakan pembelaan terhadap kaum minoritas dan tertindas, termasuk mereka yang tersisih secara Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka PelajarFarukFaruk. 2015. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka Spirit Come! The Literary Essay of Paul GoodmanPaul GoodmanGoodman, Paul. 1977. Creator Spirit Come! The Literary Essay of Paul Goodman. New York sebagai Agen Perubahan BudayaAhmadun HerfandaYosiHerfanda, Ahmadun Yosi. 2008. Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya. Dalam Anwar Efendi Ed.. 2008. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Hlm. 132. Yogyakarta Tiara Posmodernisme Linda Hutcheon. Terjemahan oleh Apri Danarto dari Politics of PosmodernismLinda HutcheonHutcheon, Linda. 1988. A Poetics of Posmodernism. London Routledge. -. 2004. Politik Posmodernisme Linda Hutcheon. Terjemahan oleh Apri Danarto dari Politics of Posmodernism 1989. Yogyakarta Fiction. London RoutledgeBrian MchaleMcHale, Brian. 1991. Postmodernist Fiction. London Types of IntertextualityRobert S MiolaMiola, Robert S. 2004. "Seven Types of Intertextuality". Dalam Michele Marrapodi Ed..PujihartoPujiharto. 2010. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan oleh Medhy Aginta Hidayat dari An Introductory Guide to Post-Structuralism and PostmodernismM SarupSarup, M. 2003. Poststrukturalisme dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan oleh Medhy Aginta Hidayat dari An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism. Yogyakarta Jendela.SinopsisNovel Kemarau Karya A.A. Navis - Selamat siang, selamat berjumpa lagi dengan blog MJ Brigaseli. Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi sinopsis novel Kemarau karya A.A. Navis yang diterbitkan oleh PT Grasindo pada tahun 1967. Pada sebuah desa telah terjadi musim kemarau yang panjang. Air juga susah didapatkan oleh penduduk.
Cerpenini juga menggaet Hadiah Sastra majalah Kisah. Berkat cerpen Robohnya Surau Kami (RSK) Navis menjadi terkenal di bidang sastra. Navis mulai mengkritik melalui karya sastra. Pernah ia dikucilkan atasan karena sering berselisih dengan atasannya.
Menurutdata Ismet Fanany, AA Navis sudah menulis 69 cerpen sampai akhir hayatnya pada 23 Maret 2003. Akan tetapi, hanya 68 cerpen yang berhasil ditemukan untuk dikumpulkan dalam buku Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2004). Satu cerpen yang masih belum ditemukan itu berjudul "Baju di Sandaran Kursi".
Diantara sekian banyak sastrawan Indonesia, yang pertama kali mempersoalkannya ialah Ali Akbar Navis (AA Navis) dalam ketiga karyanya, yakni cerpen "Robohnya Surau Kami", dan "Datangnya dan Perginya" (1956) dan novel Kemarau (1967). Ketiga karya ini, bila dilihat tema dan warnanya memiliki persamaan, yaitu warna keagamaan.